Buka konten ini

Ketua Umum Aspelusi; Ketua Kadin Net Zero Hub
ADA satu kenyataan yang sering kita lupakan ketika berbicara tentang transisi energi: Indonesia bukan negara minyak. Kita memang pernah menikmati masa surplus minyak di era 1970–1980. Namun, kini produksi jauh di bawah konsumsi. Cadangan terbatas, eksplorasi tidak lagi ekonomis, dan ketergantungan impor makin tinggi.
Namun, di sisi lain, Indonesia adalah negara listrik. Kita memiliki batu bara berlimpah, potensi panas bumi terbesar kedua di dunia, potensi tenaga surya dan angin yang masif, serta ribuan aliran sungai yang dapat menjadi sumber energi mikrohidro. Seluruh sumber itu, apabila diolah dengan strategi yang tepat, bisa menjadi tulang punggung untuk membangun electricity state, sebuah negara yang berdiri di atas kekuatan elektrifikasi, bukan minyak dan gas.
Forum Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2025 yang baru saja usai menjadi penanda penting bahwa arah kebijakan nasional kini tidak lagi hanya berbicara tentang energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai ’’alternatif’’, melainkan sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi baru.
Dalam berbagai sesi IISF, satu benang merah terlihat jelas, elektrifikasi adalah jembatan menuju kemandirian energi. Bukan hanya untuk pembangkit dan rumah tangga, melainkan juga untuk transportasi, industri, hingga sektor maritim. Artinya, listrik –baik dari batu bara bersih, gas, maupun EBT– harus menjadi ’’bahan bakar utama’’ ekonomi modern Indonesia. Dan di sinilah peran sektor usaha menjadi sangat penting: membumikan konsep electricity state menjadi program konkret di lapangan.
Dua Arah Masa Depan
Petrol state adalah negara yang hidup dari ekspor minyak dan gas. Kekayaannya besar, tetapi rapuh karena bergantung pada fluktuasi global dan gejolak geopolitik. Indonesia pernah berada di ambang itu. Namun, realitas cadangan energi menunjukkan kita tidak bisa lagi hidup dengan paradigma lama.
Sebaliknya, electricity state adalah negara yang menjadikan listrik –dari berbagai sumber domestik– sebagai darah ekonomi. Listrik bukan sekadar produk utilitas, melainkan basis kedaulatan dan industrialisasi.
Dalam electricity state, nilai tambah ekonomi tidak berhenti di ekstraksi energi, tetapi meluas ke konversi, distribusi, digitalisasi, serta efisiensi konsumsi. Di sinilah kekuatan Indonesia: kita memiliki kemampuan memproduksi listrik murah dan bersih secara berkelanjutan, bahkan lebih banyak daripada yang kita butuhkan, apabila dikelola dengan arah kebijakan yang tepat.
Pintu Masuk
Transisi energi sering kali dibayangkan terlalu jauh, seolah semua harus langsung hijau sepenuhnya. Padahal, langkah paling nyata dan berdampak adalah mengalirkan listrik ke sektor-sektor pengguna energi fosil terbesar: transportasi niaga (truk, bus, armada logistik) dan maritim (kapal dan pelabuhan).
Segmen transportasi niaga merupakan pengguna energi terbesar di darat. Elektrifikasi di situ akan langsung menurunkan emisi dan biaya operasional. Dengan teknologi baterai yang makin efisien dan harga per kWh listrik yang kompetitif, konversi armada niaga ke listrik bukan lagi wacana, melainkan peluang ekonomi baru.
Di sisi lain, sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki ratusan pelabuhan aktif. Elektrifikasi pelabuhan dan kapal logistik akan mengurangi konsumsi solar laut (MFO), menekan polusi, dan menumbuhkan industri baru seperti electric propulsion, shore power, dan charging infrastructure di kawasan pelabuhan.
Elektrifikasi transportasi dan maritim akan menciptakan permintaan listrik baru yang stabil. Hal itu penting karena pembangkit energi terbarukan kerap terkendala demand gap. Dengan mobilitas listrik, demand gap itu bisa diisi sektor produktif.
Kita perlu bersikap realistis. Transisi Âenergi Indonesia tidak bisa serta-merta meninggalkan batu bara dalam waktu dekat. Batu bara masih menjadi tulang punggung kelistrikan nasional, tetapi harus dikelola dengan tanggung jawab –melalui teknologi co-firing, carbon capture, dan efisiensi operasi.
Yang penting bukan semata sumber energi apa yang kita pakai, melainkan bagaimana kita memanfaatkannya dengan lebih cerdas dan berkeadilan. Dengan mengoptimalkan semua potensi energi, mulai batu bara hingga surya dan panas bumi, dalam satu sistem kelistrikan bersih dan efisien, kita bisa menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan komitmen net-zero. (*)