Buka konten ini


PENANGANAN kasus dugaan korupsi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor pelabuhan memasuki babak baru. PT Bias Delta Pratama (BDP) resmi mengembalikan uang negara sebesar 272.497 dolar AS atau sekitar Rp4,5 miliar ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kepulauan Riau, Selasa (14/10).
Uang tersebut diserahkan langsung oleh Direktur PT BDP, Husain, kepada tim penyidik bidang pidana khusus Kejati Kepri dalam bentuk dolar Amerika Serikat. Nilai tersebut merupakan pengembalian kerugian negara yang timbul dari kegiatan pemanduan dan penundaan kapal tanpa izin kerja sama resmi dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Kepri, Mukharom, membenarkan adanya pengembalian uang tersebut. Ia menyebut langkah itu sebagai bentuk itikad baik dari pihak perusahaan, namun menegaskan proses hukum tidak berhenti di situ.
“Pengembalian ini kami apresiasi sebagai upaya pemulihan kerugian negara. Tapi perkara pidananya tetap berjalan. Kami masih terus mendalami peran para pihak yang terlibat,” ujar Mukharom kepada Batam Pos, Selasa (14/10).
Menurut Mukharom, pengembalian kerugian negara bukan berarti perkara otomatis dihentikan. Sebab, dalam hukum pidana korupsi, pengembalian uang negara hanya menjadi faktor yang meringankan, bukan menghapus tindak pidana yang telah terjadi.
“Yang bersangkutan tetap akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya,” tegasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur PT Bias Delta Pratama, Husein, menyebut pengembalian dana itu sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap negara. Ia memastikan BDP mendukung penuh proses hukum yang sedang berjalan di Kejati Kepri.
“Kami menyerahkan pengembalian ini secara sukarela sebagai wujud komitmen untuk memperbaiki administrasi dan mendukung penegakan hukum. Kami juga masih beroperasi seperti biasa,” katanya.
PT BDP merupakan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang melakukan kegiatan pemanduan dan penundaan kapal di beberapa perairan Batam sejak tahun 2015. Namun, kegiatan itu dilakukan tanpa perjanjian kerja sama operasional (KSO) atau perjanjian kerja sama (PKS) resmi dengan BP Batam, selaku pengelola kawasan.
Dari hasil penyidikan yang dilakukan sejak awal 2024, Kejati Kepri telah menetapkan tiga tersangka baru dalam perkara ini. Mereka adalah Lisa Yulia, mantan Direktur PT BDP, Ahmad Jauhari, Direktur PT Bias Delta Pratama, dan Suyono, pensiunan pegawai BP Batam.
Ketiganya diduga memiliki peran aktif dalam melaksanakan kegiatan pemanduan dan penundaan kapal tanpa dasar hukum yang sah. Praktik itu menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan dari PNBP sektor pelabuhan selama lebih dari enam tahun.
“Perbuatan para tersangka menyebabkan pendapatan negara tidak masuk ke kas resmi, karena kegiatan pemanduan dan penundaan dilakukan tanpa PKS dengan BP Batam,” jelas Mukharom.
Selain tiga orang tersebut, penyidik juga masih membuka kemungkinan adanya tersangka baru, baik dari pihak swasta maupun dari unsur pejabat di lingkungan BP Batam yang diduga mengetahui kegiatan tersebut.
Kerugian negara dalam perkara ini terungkap berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kepri. Laporan audit menyebutkan total kerugian mencapai 272.492 dolar AS atau sekitar Rp4,54 miliar.
Jumlah tersebut berasal dari hasil kegiatan pemanduan dan penundaan kapal yang tidak disetorkan sebagai PNBP ke kas negara. Dana tersebut seharusnya menjadi bagian dari penerimaan resmi yang dikelola BP Batam untuk layanan pelabuhan.
Kejati Kepri menyebut pengembalian dana oleh PT BDP tidak menutup kemungkinan adanya langkah serupa dari pihak lain. Penyidik masih menelusuri aliran dana serta dokumen operasional yang digunakan selama periode pelanggaran tersebut.
“Kami akan terus melakukan penelusuran dan pengumpulan alat bukti. Tidak menutup kemungkinan ada pihak lain yang terlibat dan akan kami mintai pertanggungjawaban,” kata Mukharom.
Kasus dugaan korupsi PNBP jasa pemanduan dan penundaan kapal ini mulai diusut Kejati Kepri sejak awal tahun lalu, setelah ditemukan indikasi penyimpangan dalam pengelolaan jasa pelabuhan di wilayah Batam.
Penyidik menemukan adanya kegiatan operasional oleh pihak swasta tanpa dasar kerja sama dengan BP Batam. Padahal, sesuai aturan, seluruh kegiatan jasa pemanduan dan penundaan di wilayah otorita Batam wajib melalui perjanjian resmi agar pendapatan negara bisa tercatat dan disetor ke kas PNBP.
Sumber di internal kejaksaan menyebut, perkara ini menjadi salah satu kasus prioritas Kejati Kepri karena menyangkut potensi kebocoran pendapatan negara dari sektor strategis pelabuhan.
Hingga kini, Kejati Kepri masih melengkapi berkas perkara dan memeriksa sejumlah saksi tambahan. Setelah tahap penyidikan rampung, kasus ini akan segera dilimpahkan ke pengadilan tipikor.
“Penyidikan belum berhenti. Setelah alat bukti lengkap, kami akan segera limpahkan ke tahap penuntutan,” ujar Mukharom.
Dengan pengembalian uang negara sebesar Rp4,5 miliar, Kejati Kepri berharap penegakan hukum di sektor pelabuhan bisa menjadi peringatan bagi badan usaha lain agar taat pada regulasi dan tidak mengabaikan kewajiban terhadap negara.
“Kepatuhan terhadap aturan adalah bentuk dukungan nyata bagi pembangunan nasional. Jangan sampai pendapatan negara bocor karena pelanggaran administrasi,” tegas Mukharom. (***)
Reporter : MOHAMAD ISMAIL
Editor : GALIH ADI SAPUTRO