Buka konten ini
BATAM (BP) – Upaya pengentasan banjir di Batam terus digiatkan. Pemerintah kini menata sistem pengendalian banjir dengan mengedepankan berbagai metode, mulai dari pembangunan rumah pompa hingga rencana kolam retensi di kawasan padat penduduk.
Langkah konkret terbaru terlihat dari peresmian rumah pompa pengendali banjir di kawasan Jodoh, beberapa hari lalu. Fasilitas ini diharapkan menjadi salah satu solusi efektif bagi kawasan yang selama ini rawan tergenang akibat pasang surut air laut.
Deputi Bidang Infrastruktur BP Batam, Mouris Limanto, mengatakan, kebutuhan rumah pompa di Batam cukup besar. Namun, hingga kini belum ada kajian menyeluruh yang memetakan titik ideal untuk pemasangan fasilitas tersebut di seluruh wilayah.
“Sementara sampai sejauh ini belum ada kajiannya. Rumah pompa itu cukup besar nilainya, jadi sekarang kita coba meminimalisir penggunaannya dulu. Tapi dengan adanya anggaran dari Pemko, kita tempatkan rumah pompa itu di Jodoh,” katanya, Minggu (5/10).
Ia mengatakan, rumah pompa berfungsi vital di kawasan rendah yang terdampak pasang surut air laut. Saat air laut pasang, aliran air dari daratan tidak bisa mengalir secara alami ke hilir. Di sinilah rumah pompa berperan menjaga agar air tidak tertahan dan menyebabkan genangan.
Menurut Mouris, kebutuhan rumah pompa di Batam tergolong banyak. Namun, karena keterbatasan anggaran, pihaknya memprioritaskan pembangunan di titik-titik yang paling mendesak. “Kita akali sebisa mungkin,” ujarnya.
Meski efektif di wilayah tertentu, rumah pompa bukan solusi tunggal. Mouris menilai, banjir di Batam disebabkan banyak faktor, mulai dari buruknya sistem drainase, ukuran saluran yang tak memadai, hingga posisi lahan permukiman yang lebih rendah dari permukaan laut.
“Banjir di Batam ini banyak penyebabnya. Ada karena tidak ada drainasenya, ada juga yang ukuran drainasenya kurang, bahkan ada yang posisi tanah atau perumahannya di bawah, dekat dengan laut,” katanya.
Karena itu, pendekatan pengendalian banjir perlu disesuaikan dengan kondisi tiap wilayah. Salah satu opsi yang kini dikaji adalah pembangunan kolam retensi, yang berfungsi menampung debit air hujan dalam volume besar sebelum dialirkan ke saluran berikutnya.
“Kolam retensi itu seperti rem air. Ia menahan air hujan agar tidak langsung masuk ke pemukiman,” ujarnya.
Selain rumah pompa dan kolam retensi, Mouris mengatakan, pentingnya pembangunan drainase induk. Hingga kini, Batam belum memiliki sistem drainase terintegrasi seperti di kota besar lain.
“Drainase induk memang belum ada di Batam. Padahal itu cukup efektif untuk meminimalisir banjir,” ujarnya.
Ia mencontohkan, di kota-kota modern, sistem pengendalian air sudah dikombinasikan dengan multi utility box, yaitu saluran multifungsi yang tidak hanya menampung air, tetapi juga mengintegrasikan pipa dan kabel optik. “Konsep ini efisien dan bisa jadi contoh bagi Batam ke depan,” katanya.
Faktor nonteknis juga memperparah kondisi banjir. Mouris menyebut praktik cut and fill serta penebangan hutan lindung sebagai penyumbang utama kerusakan tata air di Batam.
“Cut and fill itu berdampak pada sedimentasi. Banyak yang setelah izin keluar, lahannya tidak dibangun. Tanahnya terbawa ke saluran dan menyebabkan pendangkalan. Karena itu sekarang konsep izin cut and fill saya hentikan,” ujarnya.
Selain itu, Mouris menilai keberadaan hutan basah penting dipertahankan sebagai ruang resapan alami. “Hutan basah itu seperti pori-pori kota. Setiap kali hujan, dia menyerap air dan menahan limpasan,” ucapnya.
Dalam jangka panjang, BP Batam juga berencana memanfaatkan sistem drainase primer untuk mengelola air baku. Air yang tertampung di saluran atau kolam nantinya tidak langsung dibuang ke laut, melainkan diolah kembali menjadi air bersih.
“Dengan sistem itu nanti, kolam-kolam bisa dijadikan sumber air baku. Jadi tidak semua air hujan terbuang percuma,” kata Mouris. (*)
Reporter : ARJUNA
Editor : FISKA JUANDA