Buka konten ini

Pengajar Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP); Dosen Komunikasi FISIP Ubhara Surabaya
Gelombang unjuk rasa di berbagai daerah Agustus lalu menjadi potret buram kondisi bangsa yang berlandasan Pancasila. Nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi pedoman hidup bersama tampak terkikis. Seakan ikut hangus bersama puing-puing fasilitas umum yang dibakar.
Kita sedang menghadapi krisis keteladanan. Pejabat publik yang seharusnya menjadi contoh justru memperlihatkan perilaku yang melukai hati rakyat. Fenomena flexing, praktik nepotisme, dan tindak korupsi kian marak.
Negara ini dalam kondisi rapuh. Jika tidak dijaga dan dirawat dengan sepenuh hati, bukan tidak mungkin fondasi kebangsaan yang telah dibangun dengan susah payah bakal runtuh. Semua anak bangsa harus kembali mengingat bahwa Pancasila bukan sekadar slogan, melainkan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keteladanan
Kini saatnya seluruh elemen bangsa, terutama para pemimpin, kembali meneladani semangat dan nilai-nilai Pancasila secara nyata dalam kehidupan berbangsa. Jika tidak, kita hanya akan menjadi saksi atas –pelan tetapi pasti– runtuhnya rumah besar bernama Indonesia.
Rongrongan terhadap eksistensi Pancasila sebagai dasar negara bukanlah hal baru. Sejarah mencatat peristiwa kelam seperti pemberontakan 30 September 1965 sebagai salah satu bentuk pengingkaran terhadap Pancasila. Ironisnya, pengingkaran semacam itu terus berulang hingga hari ini bukan oleh pihak luar, melainkan dari dalam, termasuk para pengambil kebijakan. Secara sadar maupun tidak, banyak kebijakan publik yang lahir tanpa berlandasan nilai-nilai Pancasila.
Setidaknya, ada tiga indikator kerapuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mencerminkan menjauhnya praktik kehidupan dari nilai-nilai Pancasila. Pertama, kerapuhan etika sosial. Hubungan antara pemimpin dan rakyat kini makin kehilangan kedekatan emosional. Komunikasi yang terjalin cenderung bersifat formal dan simbolis semata. Hal itu berdampak pada melemahnya kohesi sosial serta solidaritas antarwarga, yang sejatinya merupakan roh dari sila ketiga Persatuan Indonesia.
Kedua, kerapuhan etika budaya hukum. Hukum seolah tidak lagi menjadi panglima. Di tingkat elite maupun masyarakat akar rumput, hukum sering kali dipandang sebagai alat kekuasaan, bukan keadilan.
Ketiga, kerapuhan etika pendidikan. Meski kurikulum pendidikan terus berganti seiring dengan waktu, arah pendidikan justru kian jauh dari semangat dan nilai-nilai Pancasila. Pembelajaran Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi sering kali hanya menjadi wacana formal, tanpa menyentuh realitas dan kebutuhan zaman.
Ketidaksesuaian antara apa yang diajarkan di kelas dan apa yang terjadi di lapangan membuat generasi muda skeptis terhadap Pancasila. Mereka menyaksikan ketimpangan ekonomi yang mencederai sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Mulai intoleransi, disinformasi, hingga konflik horizontal yang berseberangan dengan semangat persatuan.
Reformulasi
Dalam konteks ini, pendidikan Pancasila perlu direformulasi agar lebih membumi dan relevan. Tidak cukup hanya dengan menghafal lima sila, tetapi harus dihidupkan dalam praktik kehidupan nyata. Pendidikan Pancasila harus responsif terhadap isu-isu kontemporer seperti krisis moral, hoaks, ujaran kebencian, tantangan bonus demografi, krisis ekonomi, hingga krisis kepercayaan terhadap lembaga negara. Tanpa keteladanan dari para pemimpin, sulit mengharapkan generasi muda untuk memaknai dan mengamalkan Pancasila secara utuh.
Pancasila harus kembali menjadi ideologi yang hidup (living ideology), yang tidak hanya dihafalkan, tetapi juga dijadikan pedoman berpikir, bersikap, dan bertindak oleh seluruh anak bangsa. Tanpa itu, Pancasila hanya akan menjadi simbol kosong yang terus dikenang, tetapi tidak lagi dihidupi.
Dalam dinamika sosial saat ini, memaknai Pancasila semata sebagai dasar negara sudah tidak memadai. Pancasila perlu dihidupkan sebagai working ideology, yakni ideologi yang bekerja nyata. Tidak hanya dalam tataran konstitusional, tetapi juga dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat.
Lebih jauh, Pancasila tidak hanya hidup di ranah struktural kenegaraan, tetapi juga harus membumi dalam budaya masyarakat. Artinya, nilai-nilai Pancasila mesti menjadi kebiasaan sosial, menjadi perilaku sehari-hari masyarakat Indonesia. Semangat gotong royong, toleransi antarumat beragama, musyawarah untuk mufakat, sikap adil, serta penolakan terhadap diskriminasi adalah bentuk nyata dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kultural.
Momentum
Setiap 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Momen ini mengingatkan kita bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa telah melewati berbagai ujian sejarah, tetapi tetap berdiri kukuh sebagai fondasi negara.
Meski demikian, dalam konteks kekinian di tengah arus globalisasi, demokratisasi, dan digitalisasi, pertanyaan besar muncul: Apakah Pancasila masih cukup ’’sakti’’ untuk menjawab tantangan zaman?
Salah satu indikator menurunnya daya hidup Pancasila terlihat dari proses pembelajarannya di dunia pendidikan. Kecenderungan pendangkalan nilai-nilai Pancasila sering kali terjadi karena pendekatan pembelajaran yang bersifat konseptual semata.
Kurikulum yang ada belum secara komprehensif menyentuh tiga dimensi penting, yaitu filosofis, teoretis, dan aplikatif. Akibatnya, pembelajaran Pancasila cenderung kaku dan tekstual, serta belum menyentuh aspek pembentukan karakter.
Selama ini, guru dan dosen terjebak dalam rutinitas kurikulum dan model pembelajaran yang hanya bersifat praktis dan prosedural. Generasi muda, khususnya generasi Z, merasa bosan karena pendekatan cenderung bersifat indoktrinatif dan tidak relevan dengan dinamika kehidupan mereka. Akibatnya, Pancasila hanya dipahami sebagai hafalan dan slogan, bukan nilai yang membentuk kepribadian dan perilaku.
Pembelajaran Pancasila harus diarahkan pada pendekatan yang kontekstual, yakni selaras dengan realitas sosial yang dihadapi peserta didik saat ini. Pelibatan siswa dan mahasiswa dalam pembelajaran aktif melalui diskusi, observasi lapangan, maupun aksi sosial nyata merupakan langkah strategis untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila secara utuh.
Lebih dari itu, pembelajaran Pancasila harus bersifat partisipatif dan transformatif. Artinya, peserta didik tidak hanya diajak mengetahui dan memahami nilai-nilai Pancasila, tetapi juga memiliki kesadaran untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter melalui Pancasila juga harus diiringi keteladanan, terutama dari para pendidik. Guru dan dosen tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga harus menjadi role model dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. (*)