Buka konten ini

Rektor dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya
’’Santai ae, Suf. Santai, Suf. Tenang, Suf.’’ Kalimat itu dengan jelas diucapkan petugas Basarnas. Kalimat itu disampaikan untuk memandu seorang santri yang terjebak dan bertahan dalam waktu lebih dari 24 jam di bawah reruntuhan bangunan musala Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, yang ambruk.
Lalu, pelan tapi pasti, santri yang bernama Yusuf itu mulai bisa ditarik ke luar dari bagian terdalam tempat dia bertahan. Pelan dan penuh kehati-hatian. Kemudian, terdengar lagi kalimat-kalimat panduan lanjutan seperti ini: ’’Tidur ae, Suf. Tenang Suf.’’
Sungguh heroik aksi penyelamatan terhadap para santri yang terjebak dalam reruntuhan bangunan itu. Video aksi penyelamatan tersebut beredar luas ke kalangan publik. Siapa pun bisa mengikuti aksi heorik penyelamatan itu dengan penuh getir hati. Sebab, semua tak pernah membayangkan musibah tersebut terjadi.
Yusuf memang hanya satu di antara sekian banyak korban. Penyelamatan oleh tim Basarnas itu juga sebagian saja dari aksi-aksi kemanusiaan lain yang dipertunjukkan banyak pihak pada musibah yang menyayat hati itu. Pondok Pesantren Al-Khoziny sedang berduka. Santri dan keluarga pun demikian. Publik juga tak mampu menyembunyikan kegetiran hati.
Lepas dari duka itu, aksi heroik penyelamatan para korban di bawah reruntuhan bangunan tersebut menimbulkan kekaguman di balik kegetiran. Mengapa begitu? Kondisi lapangan yang sangat sulit akibat impitan reruntuhan bangunan yang sangat kuat, tetapi materialnya cukup rapuh, menjadikan aksi penyelamatan korban dihadapkan pada kesulitan teknis.
Alat berat yang sudah disiapkan di lokasi kejadian tak dapat digunakan maksimal akibat reruntuhan bangunan yang sangat rawan gerak. Jika dipaksakan digunakan tanpa perhitungan supermatang, penyelamatan bakal bertambah buruk. Risiko justru mengancam para santri yang bertahan di bawah reruntuhan bangunan.
Tangisan orang tua dan keluarga santri korban di sekitar titik lokasi tentu menjadi konteks lanjutan dari tantangan itu. Semua pihak pasti getir mendapati situasi tersebut. Apalagi, bagi orang tua dan keluarga santri yang terkena musibah, kegetiran itu tak bisa dihindari.
Aksi Mulia
Di tengah situasi penyelamatan yang serbasulit itu, tim Basarnas dan para pihak mengambil langkah alternatif. Alih-alih mengoptimalkan alat berat, mereka justru melakukan langkah konkret tetapi berbasis manual dengan menggali tanah untuk mempermudah penyelamatan santri. Penyelamatan Yusuf merupakan salah satu contoh langkah alternatif nan konkret itu.
Nilai heroisme memang dipertunjukkan banyak pihak. Bukan hanya aksi penyelamatan yang menimbulkan kekaguman. Perhatian dan aksi nyata para pihak lain juga menyiratkan nilai kemuliaan di tengah musibah itu. Aksi nyata tersebut berupa pendampingan para keluarga santri korban hingga penyediaan dapur umum untuk kepentingan konsumsi keluarga santri korban.
Simpulannya satu: ada jiwa-jiwa melayani di tengah musibah yang menyayat hati tersebut. Jiwa-jiwa melayani itu memang sangat luar biasa mulia sekali. Kehadirannya memang tak harus menunggu datangnya musibah. Tapi, musibah yang terjadi di Pesantren Al-Khoziny memberi bukti bahwa jiwa-jiwa melayani tak pernah punah dari pergerakan nurani bangsa ini.
Jiwa-jiwa melayani itu tentu tak muncul tiba-tiba. Ada proses panjang yang terjadi dalam rangka menumbuhkan dan menjaganya. Musibah Al-Khoziny memang duka bersama. Namun, ia menjadi kanal lebar yang menandai masih kuatnya apa yang disebut Lee, Lovelace, dan Manz (2014: 45-64) sebagai keterpaduan antara spiritualitas tempat kerja (workplace spirituality) dan kerja melayani (serving) dalam konsep besar serving with the spirit (melayani dengan semangat kemuliaan).
Dalam konsep keterpaduan workplace spirituality dan serving itu, nilai-nilai yang terkandung dalam jiwa-jiwa melayani bisa menganulir kegetiran hati pihak yang terlayani. Sepahit apa pun rasa getir itu.
Dalam konteks musibah Al-Khoziny, ekspresi duka para santri korban beserta keluarga dan tentu para pengasuh pesantren serta kita semua yang sedang mendapati kegetiran atasnya secara etis dapat diredam oleh jiwa-jiwa melayani tersebut.
Karena itu, menjadi tugas kita semua untuk tidak saja menjaga agar jiwa-jiwa melayani terus tumbuh kuat di tengah masyarakat, tetapi juga menghindarkan para pemangku kewenangan publik dari praktik dan tindak laku yang bisa menjadi disinsentif bagi penguatan jiwa-jiwa melayani tersebut.
Praktik serba minta dilayani, serba minta diberi upeti, dan serba pamer kekayaan diri tak lagi sepatutnya menjadi pemandangan mencolok dari perilaku publik para pemangku kewenangan publik. Selain mencederai nurani publik, praktik-praktik yang disebut terakhir itu bisa menumpulkan jiwa-jiwa melayani publik. (*)