Buka konten ini

Dokter Spesialis Paru Rumah Sakit Awal Bros Batam . F. Humas Rumah Sakit Awal Bros untuk Batam Pos
Kanker paru menjadi pembunuh nomor satu pada pria di Indonesia. Penyakit mematikan ini kerap baru terdeteksi pada stadium lanjut, membuat harapan hidup pasien rata-rata hanya 6 bulan hingga 2 tahun. Dokter mengingatkan masyarakat untuk menjauhi faktor pemicu kanker paru seperti rokok, polusi udara, dan paparan zat berbahaya agar terhindar dari ancaman kanker paru.
Kanker paru masih menjadi momok mematikan di dunia medis. Dokter Spesialis Paru Rumah Sakit Awal Bros Batam, dr. Abdul Malik, Sp.P, FISR, mengungkapkan, penyakit kanker paru ini umumnya sulit disembuhkan dan memiliki angka kematian yang sangat tinggi. “Secara statistik, penderita kanker paru rata-rata hanya bertahan hidup 6 bulan hingga 2 tahun,” ujarnya.
Meski demikian, ia mengakui ada kasus langka di mana pasien mampu bertahan lebih dari 10 tahun setelah menjalani kemoterapi. “Ada satu pasien saya satu-satunya, Alhamdulillah di tahun 2014 dia kemo, sampai sekarang Alhamdulillah masih suka ketemu sama saya di musola,” ungkap dr. Abdul Malik, Sp.P, FISR, Kamis (7/6).
Menurut dr. Malik, hingga saat ini belum ada obat yang benar-benar efektif menyembuhkan kanker paru. Penanganan seperti kemoterapi, radioterapi, imunoterapi, atau terapi target hanya berfungsi memperlambat perkembangan penyakit, bukan menghilangkannya.
Menurut dokter Abdul Malik, rokok tetap menjadi faktor risiko terbesar. “Kalau rokok, jelas penyebab. Sedangkan makanan, secara khusus belum ada yang terbukti langsung memicu kanker paru,” jelasnya.
Namun, pola hidup tidak sehat seperti sering mengonsumsi makanan berpengawet, alkohol, kurang olahraga, hingga paparan polusi dan radikal bebas, dapat melemahkan daya tahan tubuh sehingga memicu pertumbuhan sel kanker. “Jadi kanker ini kan banyak ya, kalau makanan (berpengawet) biasanya berhubungan dengan seluruh pencernaan. Bisa kanker usus, bisa kanker pankreas, misalnya kanker lambung, banyak ya. Jadi gak harus kanker paru gitu,” ungkapnya.
Gaya hidup yang memicu seseorang terkena kanker paru
Kanker berhubungan dengan oksidan atau radikal bebas. Radikal bebas ini banyak terdapat di alam, baik dari makanan, udara, maupun sumber lainnya. Jika jumlah radikal bebas dalam tubuh berlebihan, tubuh akan melawannya dengan antioksidan. Namun, kemampuan tubuh untuk melawan ada batasnya.
“Ketika ada sel yang bermutasi dan membelah diri menjadi sel baru dengan rantai genetik yang berbeda, inilah awal terbentuknya sel kanker. Pada kanker paru, sel paru yang seharusnya membelah menjadi sel paru normal justru berubah menjadi sel kanker, lalu berkembang biak tanpa kendali,” ungkap dr Malik.
Pola hidup atau gaya hidup sangat berpengaruh terhadap proses ini. Misalnya, kebiasaan seperti sering pergi ke klub malam (dugem), mengonsumsi alkohol, merokok, atau melakukan pola hidup tidak sehat lainnya dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh.
“Sistem imun yang lemah dapat memicu terjadinya kanker, meskipun bukan berarti semua orang dengan imun lemah pasti terkena kanker. Namun, risiko pada orang dengan daya tahan tubuh rendah cenderung lebih tinggi,” ujarnya.
Keturunan juga berpengaruh pada risiko terkena kanker paru. “Kalau orang tuanya atau kakek-neneknya punya riwayat kanker, risikonya enam kali lebih tinggi dibanding orang tanpa riwayat keluarga,” tambahnya.
Deteksi Dini Kanker Paru Minim
Di Indonesia, program skrining khusus kanker paru belum berjalan. Padahal, di negara seperti Jepang, pria di atas 40 tahun diwajibkan menjalani CT scan dada setiap tahun. “Kalau ditemukan pada stadium 1, peluang hidup di atas 5 tahun lebih besar karena bisa dioperasi. Tapi sayangnya, di sini kebanyakan pasien datang sudah stadium 3 atau 4,” kata dr. Malik.
Ia juga menyoroti tingginya risiko pada pekerja industri, termasuk di Batam. Meski perusahaan sudah menyediakan alat pelindung diri (APD) seperti masker N95, banyak pekerja yang enggan memakainya. “Sama seperti orang naik motor tapi tidak pakai helm. Padahal APD itu penting untuk mencegah paparan zat berbahaya,” tegasnya.
Dari tahun ke tahun, kasus kanker paru di Batam terus naik. “Dalam seminggu terakhir saja saya sudah melakukan empat biopsi untuk kasus baru (kanker paru). Dulu kanker prostat jadi pembunuh nomor satu pada pria, sekarang kanker paru yang memimpin. Dan trennya meningkat,” ungkapnya.
Secara medis, kanker paru terbagi dua: tipe small cell carcinoma yang lebih ganas dan cepat menyebar, serta tipe non-small cell carcinoma yang lebih sering ditemukan, terutama adenokarsinoma dan karsinoma sel skuamosa. “Small cell jauh lebih mematikan, sedangkan adenokarsinoma paling sering ditemukan,” jelas dr. Malik.
dr. Malik menegaskan pentingnya mencegah daripada mengobati. “ Intinya jauhi faktor pemicunya, berhentilah merokok, jalani pola hidup sehat, makan bergizi, dan rajin memeriksakan kesehatan. Jangan tunggu sampai gejala muncul. Jangan lupa juga berdoa. Minta perlindungan,” pesannya.
95 Persen Pasien Kanker Paru adalah Perokok
Dokter Spesialis Paru, dr. Abdul Malik, Sp.P, FISR, mempertegas sebagian besar kasus kanker paru berhubungan erat dengan kebiasaan merokok.
“Pasien saya, 95 persen penderita kanker paru adalah perokok,” ujarnya.
Menurutnya, perokok aktif maupun pasif sama-sama berisiko, bahkan perokok pasif bisa lebih dirugikan karena dipaksa menghirup udara yang tercemar asap rokok.
Dampak Rokok Baru Hilang Setelah 10 Tahun Berhenti Merokok
Meski sudah berhenti merokok, butuh waktu lama bagi tubuh untuk benar-benar bersih dari dampak racun rokok. Dokter menjelaskan, proses pemulihan tubuh bisa memakan waktu hingga 10 tahun setelah seseorang berhenti merokok.
“Setelah 10 tahun berhenti, baru racun dan dampaknya hilang dari tubuh,” ujar dr Abdul Malik.
Menurutnya, banyak pasien yang mengaku tidak merokok, padahal baru berhenti beberapa bulan. “Ada pasien bilang tidak merokok, tapi ternyata baru berhenti dua bulan lalu. Tentu tubuhnya belum sepenuhnya pulih,” katanya.
Ia juga menyoroti bahaya asap rokok bagi lingkungan sekitar. Perokok aktif mengeluarkan asap yang bisa merugikan orang lain hingga 400 persen lebih banyak. “Kalau merokok, jangan dekat-dekat orang lain. Asap rokok mencemari udara yang seharusnya bersih,” jelasnya.
Dokter mengingatkan, bahaya asap rokok tidak hanya saat dihirup langsung. Sisa asap yang menempel di pakaian juga bisa membahayakan, terutama bagi anak-anak. “Kadang ayah merokok di luar, lalu pulang, tidak ganti baju, langsung gendong anak. Asap yang menempel di baju bisa terhirup anak. Kasihan, karena anak tetap terpapar racun rokok,” tegasnya.
Kanker paru merupakan keganasan pada paru-paru atau rongga dada. Prosesnya dimulai dari mutasi sel pada saluran napas yang kemudian berkembang menjadi tumor ganas. “Kalau tumor jinak tidak terlalu membahayakan, tapi yang ganas inilah yang kita sebut kanker,” jelasnya.
Kasus kanker paru bisa terjadi pada siapa saja, mulai dari dewasa, muda hingga lanjut usia. dr. Malik bahkan pernah menangani pasien berusia 22 tahun. “Ada juga yang baru merokok beberapa bulan sudah terkena kanker paru, tergantung daya tahan tubuh masing-masing,” katanya.
Faktor pemicu kanker paru terbagi dua, internal dan eksternal. Faktor internal meliputi riwayat keturunan kanker. Sementara faktor eksternal antara lain paparan asap rokok, polusi udara, zat beracun industri, hingga makanan dengan bahan pengawet.
“Ada juga gas radon yang berasal dari tanah, tidak berbau dan tidak terlihat, tapi bisa memicu kanker paru,” tambahnya.
Gejala awal kanker paru yang sering diabaikan masyarakat antara lain batuk berkepanjangan lebih dari tiga minggu, sesak napas, penurunan berat badan, dan hilangnya nafsu makan. “Kalau ada batuk lama yang tidak sembuh, sebaiknya segera periksa ke dokter paru,” imbau dr. Malik.
Diagnosis kanker paru dilakukan bertahap. Pasien biasanya menjalani pemeriksaan rontgen, lalu CT scan jika ditemukan tanda mencurigakan. “Kalau ada tumor, kita ambil sampel dengan biopsi atau bronkoskopi untuk memastikan jenis kankernya. Hasilnya biasanya sudah bisa keluar dalam waktu dua minggu, Insya Allah sudah ketahuan,” jelasnya.
dr. Malik menegaskan, cara terbaik mencegah kanker paru adalah dengan menghindari rokok. “Merokok itu investasi ke rumah sakit. Pilihannya ada di tangan masing-masing, mau sehat atau mau sakit,” pungkasnya. (***)
Reporter : ANDRIANI SUSILAWATI
Editor : Mohammad Tahang