Buka konten ini
GAZA (BP) – Gaza masih belum rampung jadi panggung ketegangan dunia. Hamas baru saja mengumumkan bahwa mereka telah memberikan respons ’positif’ terhadap proposal gencatan senjata terbaru yang diajukan oleh para mediator.
Dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Jumat (4/7) lalu, Hamas menyatakan siap sepenuhnya untuk segera memulai kembali negosiasi dengan Israel.
Tapi di balik nada damai yang disampaikan kelompok tersebut, tersimpan tiga catatan serius yang membuat banyak pihak, termasuk Israel dan Amerika Serikat (AS), mulai mengerutkan dahi.
Pihak Hamas memang tidak menyebutkan secara terbuka soal keberatan mereka. Namun, menurut sumber terpercaya yang terlibat langsung dalam proses mediasi, jawaban ’positif’ Hamas itu ternyata datang dengan tiga syarat besar yang bisa menjadi batu sandungan dalam proses perdamaian ini.
Yang pertama, Hamas menginginkan jaminan bahwa negosiasi untuk mencapai gencatan senjata permanen akan terus berlanjut tanpa batas waktu. Mereka menolak pasal yang menyebutkan bahwa gencatan senjata 60 hari hanya bisa diperpanjang jika kedua belah pihak ’berniat baik’.
Bagi Hamas, kalimat itu membuka celah bagi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk menarik diri dari perundingan sewaktu-waktu dan kembali melanjutkan perang, seperti yang terjadi beberapa bulan lalu.
Sebaliknya, Hamas ingin kepastian bahwa perundingan harus berjalan sampai benar-benar tercapai kesepakatan damai jangka panjang, sesuatu yang sejak awal ditolak mentah-mentah oleh Israel.
Keberatan kedua datang dari persoalan bantuan kemanusiaan. Hamas meminta agar seluruh distribusi bantuan dikembalikan kepada mekanisme internasional yang diawasi langsung oleh PBB dan lembaga-lembaga bantuan global.
Mengutip Times of Israel, Sabtu (5/7), Hamas juga menolak sistem yang saat ini dikendalikan melalui Gaza Humanitarian Foundation (GHF), lembaga yang didukung Amerika Serikat dan Israel, karena dianggap terlalu membatasi dan tidak manusiawi.
Sejak blokade Israel dilonggarkan, jumlah bantuan yang masuk ke Gaza rata-rata tak sampai 70 truk per hari, padahal kondisi di lapangan sangat genting dan butuh ratusan truk setiap harinya.
Gambar-gambar mengerikan dari warga Gaza yang rela menempuh perjalanan jauh dan bahkan menghadapi tembakan demi sebungkus makanan dari GHF semakin memperjelas betapa buruknya situasi di wilayah itu. Syarat ketiga yang diajukan Hamas adalah permintaan agar pasukan Israel mundur ke posisi mereka sebelum gencatan senjata terakhir runtuh pada Maret lalu.
Hamas bersikeras bahwa untuk menjaga kredibilitas proses damai, Israel harus menarik diri dari wilayah-wilayah strategis seperti Koridor Morag di selatan Gaza dan wilayah perbatasan Philadelphi yang kini dikuasai penuh oleh militer Israel. Namun langkah ini jelas akan ditentang habis-habisan oleh pemerintahan Netanyahu, yang sejak awal menolak ide penarikan total pasukan karena khawatir Hamas akan memanfaatkan situasi untuk membangun kembali kekuatannya.
Meski begitu, harapan perdamaian belum sepenuhnya pupus. Para mediator masih percaya bahwa negosiasi lanjutan bisa dimulai dalam waktu dekat, bahkan disebut-sebut akan digelar di Doha pada hari Minggu mendatang. Namun tekanan juga datang dari Amerika Serikat, terutama dari utusan khusus Steve Witkoff, yang menginginkan Hamas menerima proposal awal tanpa syarat tambahan agar proses perundingan tidak semakin rumit.
Tujuan utamanya adalah agar pembahasan bisa difokuskan pada isu-isu teknis seperti jumlah dan identitas tahanan Palestina yang akan dibebaskan, serta detail peta penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Presiden AS Donald Trump, yang kembali aktif memainkan peran dalam diplomasi Timur Tengah, juga menunjukkan optimisme tinggi. Setelah sukses menengahi gencatan senjata antara Israel dan Iran pada akhir Juni lalu, Trump berkali-kali menyatakan bahwa kesepakatan damai antara Israel dan Hamas tinggal selangkah lagi.
Tapi, seperti biasa, ucapan Trump soal ’minggu depan akan damai’ sudah jadi semacam janji rutin yang belum kunjung terbukti. Adapun isi kesepakatan gencatan senjata yang saat ini dibahas mencakup pembebasan separuh dari 20 sandera yang masih hidup.
Delapan orang akan dibebaskan di hari pertama, dan dua lainnya menyusul pada hari ke-50. Sementara itu, jasad sekitar separuh dari 18 sandera yang telah tewas juga akan dikembalikan secara bertahap, dimulai dari lima jenazah di hari ketujuh, lima lagi di hari ke-30, dan sisanya pada hari ke-60.
Hamas sebenarnya pernah menawarkan untuk membebaskan semua sandera sekaligus, tapi Israel menolak. Netanyahu memilih skema pembebasan bertahap, agar Israel tetap punya ’rem darurat’ untuk melanjutkan perang kapan saja.
Karena itulah, Hamas kemudian menyusun strategi balasan dengan menuntut pembebasan dilakukan lebih bertahap, agar Israel tetap terikat dalam proses negosiasi dan tidak bisa seenaknya pergi begitu saja. Pada akhirnya, drama antara Israel dan Hamas kembali masuk babak baru.
Kali ini, semua mata tertuju pada Doha dan apakah ketegangan yang penuh jebakan politik ini bisa benar-benar diubah menjadi langkah nyata menuju perdamaian. Tapi dengan masing-masing pihak masih berdiri tegak di atas kepentingan sendiri, rasanya dunia belum bisa bernapas lega. Gaza masih penuh luka, dan perdamaian tampaknya masih harus melalui jalan terjal yang sangat panjang. (*)
Reporter : jp group
Editor : Alfian Lumban Gaol