Buka konten ini

Delegasi Indonesia di Forum Pemuda Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
DELAPAN puluh tahun telah berlalu sejak berakhirnya Perang Dunia II, bayangan konflik global kembali menghantui dunia. YouGov, lembaga riset yang berkantor pusat di London, telah merilis hasil survei terbaru (8 Mei 2025) untuk melihat pandangan masyarakat Barat terkait dengan kemungkinan meletusnya Perang Dunia III.
Sebanyak 41 persen hingga 55 persen responden di lima negara Eropa –Britania Raya, Prancis, Jerman, Italia, dan Spanyol– serta 45 persen responden di Amerika Serikat percaya bahwa Perang Dunia III sangat mungkin terjadi dalam 5–10 tahun ke depan. Sebanyak 44 persen responden bahkan memperkirakan, jika perang tersebut benar-benar pecah, dampaknya bisa sedemikian besar hingga membunuh sebagian besar populasi dunia.
Perkembangan teknologi perang menambah bobot mengerikan dari potensi konflik global ini. Senjata nuklir, rudal hipersonik, drone swarm otomatis, serta serangan siber terhadap infrastruktur energi, air, dan sistem digital bisa membuat jalannya perang jauh lebih cepat, destruktif, serta tidak terkendali.
Kekhawatiran itu menjadi makin nyata pada pertengahan Juni 2025 ketika Israel melancarkan serangan mendadak ke sejumlah fasilitas militer dan nuklir Iran. Operasi tersebut memicu eskalasi besar. Iran merespons dengan meluncurkan ratusan rudal dan drone ke berbagai wilayah di Israel.
Ancaman Global
Serangan balasan tersebut memicu kepanikan regional serta mengakibatkan penutupan sementara bandara-bandara utama di Tel Aviv dan Teheran, gangguan lalu lintas udara internasional, serta lonjakan harga minyak dunia akibat kekhawatiran terganggunya jalur distribusi energi. Dunia pun menyaksikan bagaimana konflik yang selama ini bersifat regional mulai berubah menjadi ancaman global.
Konflik yang sebelumnya berlangsung melalui proksi kini telah berkembang menjadi bentrokan terbuka antara dua negara dengan kekuatan militer besar. Menurut Global Firepower Index 2025, Israel menempati peringkat ke-15 dan Iran ke-16 dalam daftar kekuatan militer dunia. Israel dikenal memiliki teknologi pertahanan canggih, termasuk sistem Iron Dome dan kekuatan udara yang dominan di kawasan. Sementara Iran memiliki jaringan pengaruh regional yang luas, pasukan rudal balistik, serta kapasitas militer konvensional dan asimetris yang tidak bisa diabaikan.
Ketegangan tersebut langsung memicu respons dari berbagai negara besar di dunia. Di satu sisi, Israel masih mendapat dukungan dari aliansi tradisionalnya seperti Amerika Serikat (AS) dan beberapa anggota NATO. Namun, pemerintahan Donald Trump, yang kembali berkuasa, tampak lebih berhati-hati jika dibandingkan dengan masa lalu. Seruan untuk de-eskalasi dan penyelesaian diplomatik disuarakan keras, menunjukkan adanya pergeseran pendekatan Washington terhadap konflik Timur Tengah.
Sementara itu, Iran justru memperoleh dukungan terbuka dari Korea Utara, yang menyatakan solidaritas penuh dan bahkan menawarkan bantuan militer jika konflik terus membesar. Di sisi lain, Tiongkok mengecam keras tindakan Israel, menyebutnya sebagai pelanggaran serius terhadap stabilitas regional. Meski tidak secara eksplisit menawarkan bantuan militer kepada Iran, sikap Tiongkok jelas berpihak dan menambah tekanan internasional terhadap Israel.
Rusia, dalam posisinya yang lebih ambigu, bersama AS mendorong gencatan senjata, tetapi tetap menjaga komunikasi strategis dengan kedua pihak, mempertimbangkan kepentingan geopolitiknya di kawasan.
Konstelasi geopolitik itulah yang membuat konflik berpotensi berkembang menjadi perang skala global. Meski belum membentuk aliansi militer resmi, posisi negara-negara besar mulai memperlihatkan polarisasi yang menyerupai situasi pra-Perang Dunia. Jika situasi terus memburuk, keterlibatan negara-negara tersebut, baik secara langsung maupun melalui proksi, hampir tak terelakkan.
Pemimpin Penentu
Jika konflik Israel–Iran ini berubah menjadi pemicu Perang Dunia, proyeksi keterlibatan global akan sangat luas. Timur Tengah sebagai episentrum konflik akan sepenuhnya terdampak. Dalam skenario terburuk, konflik itu bisa menjalar ke Asia Timur melalui sempadan Korea dan ke Eropa Timur melalui ketegangan lanjutan antara NATO dan Rusia. Secara total, setidaknya 75–85 persen wilayah dunia akan terdampak secara langsung atau tidak langsung oleh perang global tersebut. Baik melalui jalur ekonomi, teknologi, pengungsian, maupun konfrontasi bersenjata.
Dengan latar belakang itu, kemungkinan pecahnya Perang Dunia III tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Yang menjadi penentu adalah apakah para pemimpin negara superpower sekaligus pemilik senjata nuklir paling berbahaya saat ini, Rusia dan AS, akan tetap memegang peran sebagai penyeimbang konflik atau justru tergerus oleh tekanan domestik dan dinamika geopolitik yang mendorong mereka ke arah konfrontasi terbuka.
Sejarah telah mengajarkan bahwa Perang Dunia bukan semata hasil dari satu peristiwa tunggal, melainkan akumulasi ketegangan, aliansi, kesalahpahaman, dan kegagalan diplomasi. Kini dunia kembali berada pada titik genting tersebut. Jika pelajaran dari masa lalu tidak diambil secara serius, sejarah bisa berulang, kali ini dengan skala kehancuran yang jauh lebih besar dan tidak terbayangkan. (*)