Buka konten ini
BATAM (BP) – Lembaga Sertifikasi Profesi Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR) bekerja sama dengan Indonesia Risk Practitioner Association (IRPA) menggelar Inaugurasi Certified Risk Management (CRM) dan Seminar Nasional dengan tema “Kesiapan Industri Perbankan dalam Merespon Eskalasi Climate Risk dan Cyber Risk 2025”, Rabu (18/6).
Acara yang berlangsung di Swiss-Belhotel Harbour Bay, Batam ini diikuti oleh 30 peserta penerima sertifikat CRM jenjang 7, yang merupakan jenjang tertinggi dalam sertifikasi manajemen risiko.
Bendahara IRFA dan BSMR, Prof. Dr. Ir. Gadung Troy Sulistiyantoro, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan momen inaugurasi atau penobatan resmi bagi para peserta yang telah menempuh pendidikan dan ujian sertifikasi manajemen risiko hingga jenjang tertinggi.
“Sertifikasi manajemen risiko terdiri dari jenjang 4 hingga 7. Untuk menjadi direktur bank, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan jenjang 7 sebagai syarat wajib. Namun kini, jenjang tersebut juga dapat ditempuh oleh kalangan umum yang memiliki kapasitas dan integritas tinggi dalam pengelolaan risiko,” ujar Gadung.
Menurutnya, ini adalah kali pertama sertifikasi CRM jenjang 7 diberikan di Batam, dan akan menjadi agenda rutin sebanyak empat kali dalam setahun ke depan.
“Peserta datang dari berbagai wilayah, tidak hanya dari Kepulauan Riau, namun juga secara nasional. Ini menjadi tonggak sejarah penting bagi dunia manajemen risiko di Indonesia,” tambahnya.
Prof. Gadung berharap para pemegang gelar CRM mampu menerapkan praktik manajemen risiko secara konkret di institusi masing-masing, sehingga dapat meminimalkan risiko usaha dan meningkatkan keberlanjutan serta profitabilitas perusahaan.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala OJK Kepulauan Riau, Sinar Danandjaya, menyampaikan tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam meningkatkan literasi keuangan dan kesiapan menghadapi risiko digital.
Berdasarkan survei OJK bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2025, indeks literasi keuangan nasional tercatat sebesar 66 persen. Angka ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura (98 persen), Malaysia (85 persen), dan Thailand (96 persen).
“Tantangan utama kita adalah ketimpangan literasi antar daerah, akses internet yang belum merata, serta karakter geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau,” ungkap Sinar dalam sambutannya.
Ia menekankan pentingnya sinergi antara regulator, industri, dan akademisi dalam memperkuat pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan, serta meningkatkan ketahanan terhadap risiko iklim dan siber yang semakin kompleks di masa mendatang. (*)
Reporter : AZIS MAULANA
Editor : Gustia Benny