Buka konten ini
Narendra, bocah berusia enam tahun, dulunya hidup dalam bayang-bayang kekerasan. Ia biasa melihat lingkungannya menghirup lem, berbicara kasar, bahkan menyaksikan hal-hal yang tak pantas untuk anak seusianya. Namun, sejak diselamatkan dan tinggal di Rumah Aman milik UPTD PPA Batam yang mendidik dan memberinya kasih sayang, hidupnya perlahan berubah.
BATAM (BP) – Muhammad Narendra Putra tak pernah meminta dilahirkan dalam kekerasan. Tapi, bocah enam tahun itu harus menanggung luka di kepala karena sebilah parang yang diayunkan ayah tirinya. Luka luar yang mengucurkan darah bisa dijahit oleh dokter, tapi luka batin itu yang masih coba disembuhkan, pelan-pelan, di sebuah rumah aman milik UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Batam.
Kisah getir Narendra bermula dari hal sepele—ia enggan mandi. Emosi sang ayah tiri memuncak. Ia mengambil parang dan menakut-nakuti Narendra. Tapi, yang terjadi lebih dari sekadar gertakan. Parang itu melukai kepala bocah malang ini. Darah mengucur. Narendra dilarikan ke rumah sakit. Tapi yang lebih menyakitkan, kedua orang tuanya—ayah tiri dan ibu kandungnya—justru pergi meninggalkannya begitu saja di bangsal rumah sakit.
Kepolisian Sektor Seibeduk bergerak cepat. Ayah tiri Narendra ditangkap, diperiksa, dan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan anak di bawah umur. Polisi memastikan ia waras, tak ada indikasi gangguan jiwa. Hanya amarah yang meledak dan tak terkendali. Sebuah refleks yang meninggalkan luka mendalam, bukan hanya secara fisik, tapi juga psikologis.
“Kami serius menangani kasus ini, apalagi korbannya adalah anak kecil yang tidak berdaya. Tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan terhadap anak,” tegas Kapolsek Seibeduk, Iptu Alex Yasral, saat konferensi pers, akhir Mei lalu.
UPTD PPA Kota Batam pun turun tangan. Narendra dipindahkan ke rumah aman milik UPTD PPA Batam, tempat ia bisa merasa aman, bermain, dan dipeluk kasih sayang—sesuatu yang tampaknya tak ia dapatkan selama ini. Di sana, ia mulai menjalani terapi psikologis.
Kepala UPTD PPA, Dedy Suryadi, menyebut bahwa Narendra awalnya menunjukkan banyak perilaku yang tidak wajar. Ia terbiasa menghirup botol kosong, mencuri makanan, bahkan mengucapkan kalimat-kalimat tidak pantas.
”Kami sempat terkejut, tapi setelah kami telusuri, ternyata itu karena ia sering menyaksikan langsung orang tuanya berhubungan suami istri. Anak ini meniru apa yang ia lihat, bukan karena paham,” ujar Dedy, Senin (17/6).
Namun, 28 hari di rumah aman mengubah banyak hal. Narendra kini tahu cara meminta izin sebelum makan. Ia bahkan membaca doa sebelum menyantap makanan. Kalimat-kalimat tak pantas itu pun perlahan hilang. Dan untuk pertama kalinya, ia menyampaikan keinginan untuk kembali sekolah.
”Dia bilang tidak ingin kembali ke rumah orang tuanya karena takut tidak bisa sekolah. Maka kami berencana meminta izin tertulis dari ibunya agar bisa menitipkannya ke Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA),” jelas Dedy.
Kasih sayang yang ia dapatkan di rumah aman telah membentuk kenyamanan baru bagi Narendra. Para pengasuh dipanggilnya ”ayah” dan ”ibu”. Ia merasa dicintai. Ia merasa berharga. Bukan sekadar anak dari dua orang dewasa yang memusuhinya karena remeh-temeh.
Kini, masa depan Narendra perlahan dipetakan ulang. Pemerintah Kota Batam memastikan ia mendapatkan asupan gizi yang layak, pembinaan akhlak, dan kelak—pendidikan yang layak.
Di tengah semua luka, ada harapan yang tumbuh. Di balik trauma yang dalam, ada pintu baru yang terbuka. Rumah aman itu mungkin sederhana, tapi di sanalah Narendra akhirnya mengerti bahwa hidup bisa lebih baik. (***)
Reporter : Rengga Yuliandra
Editor : RAT NA IRTATIK