Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Asumsi makroekonomi Indonesia masih menghadapi tekanan. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 31 Mei 2025 mengalami defisit sebesar Rp21 triliun, setara dengan 0,09 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
”Defisit kita Rp21 triliun masih jauh di bawah keseluruhan defisit sesuai Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025, yaitu Rp616,2 triliun,” ujarnya dalam paparan APBN KiTa Juni 2025 di Jakarta, kemarin (17/6).
Pendapatan negara tercatat mencapai Rp995,3 triliun, atau 33,1 persen dari target tahun ini. Rinciannya, penerimaan pajak terkumpul sebesar Rp683,3 triliun (31,2 persen dari target), penerimaan bea dan cukai Rp122,9 triliun (40,7 persen), serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp188,7 triliun (36,7 persen).
”Kalau kita lihat realisasi dari April ke Mei, pendapatan negara meningkat dari Rp810,3 triliun menjadi Rp995,3 triliun. Artinya, hampir Rp185 triliun terkumpul hanya dalam bulan Mei saja,” terang perempuan yang akrab disapa Ani itu.
Sementara itu, belanja negara tercatat Rp1.016,3 triliun atau 28,1 persen dari pagu anggaran sebesar Rp3.621,3 triliun. Belanja pemerintah tergolong moderat, disebabkan oleh kebijakan prioritas anggaran yang menyebabkan keterlambatan penyaluran dana. Belanja pemerintah pusat menyusut 15,8 persen secara tahunan (year-on-year/YoY).
Sri Mulyani menegaskan bahwa defisit APBN tetap diarahkan untuk fungsi counter-cyclical guna meredam dampak pelemahan ekonomi.
”Agar pelemahan ekonomi tidak berdampak signifikan, terutama terhadap masyarakat,” tuturnya.
Terpisah, Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, menilai bahwa asumsi makroekonomi masih menghadapi tekanan, seiring dengan capaian lifting minyak dan gas yang terus berada di bawah target pemerintah.
”Berdasarkan indikator saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan berada di bawah target pemerintah sebesar 5,2 persen pada tahun 2025,” ujar Andry kepada Jawa Pos (grup Batam Pos).
Kinerja penerimaan pajak juga dinilai masih lemah, dipengaruhi oleh turunnya permintaan konsumen serta penurunan penerimaan dari sektor migas.
Realisasi pendapatan negara lebih rendah dibandingkan rata-rata tiga tahun terakhir yang mencapai 49,1 persen. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : PUTUT ARIYO TEJO