Buka konten ini

Relawan BNN, Siswi SMP Yos Sudarso Batam
PERNAHKAH Anda membayangkan mengangkat beban seberat 2 ton? Seorang manusia biasa tentu tidak akan mampu melakukannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh John Sifferman, umumnya seorang pria mampu mengangkat beban seberat 150% dari berat badannya, sedangkan wanita sekitar 118%.
Sebagai perbandingan, Aji Soeganda dijuluki sebagai manusia terkuat di Indonesia karena berhasil mengangkat ban crane seberat 500 kg. Sementara itu, predikat manusia terkuat di dunia disematkan kepada atlet Kanada, Gregg Ernst, yang pada tahun 1993 berhasil mengangkat dua mobil lengkap dengan pengemudinya, dengan total berat mencapai 2.422 kg. Aksi luar biasa ini menjadikannya pemegang rekor Guinness World Records untuk beban terberat yang pernah diangkat manusia.
Jika 2 ton itu diibaratkan beras dalam karung 25 kg, maka jumlahnya mencapai 80 karung—bertumpuk-tumpuk dan sangat tinggi. Namun, kali ini bukan beras yang dibicarakan. Ironisnya, yang dimaksud adalah 2 ton sabu, narkoba yang dapat merusak hidup siapa saja yang menyentuhnya.
Meskipun berat 2 ton itu masih bisa diangkat oleh Gregg Ernst, namun jumlah sabu sebanyak itu sangatlah besar dan mengkhawatirkan. Lebih mencengangkan lagi, sabu tersebut diperkirakan dapat dikonsumsi oleh lebih dari 8 juta orang. Artinya, jutaan anak muda—bahkan orang dewasa—berpotensi menjadi korban kecanduan. Bayangkan berapa banyak masa depan yang bisa hancur, berapa banyak keluarga yang bisa kehilangan harapan, hanya karena satu lintasan narkoba.
Sudah sepantasnya prestasi besar ini disematkan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN) yang berhasil menggagalkan penyelundupan sabu seberat 2 ton—penangkapan narkoba terbesar dalam sejarah Indonesia. Operasi ini dipimpin langsung oleh Kepala BNN, Komjen Pol. Marthinus Hukom, dan merupakan hasil kerja sama solid antara BNN, Bea dan Cukai, TNI AL, serta Kepolisian.
Berbeda dari biasanya, pemusnahan barang bukti kali ini dikemas secara meriah. Dihadiri artis terkenal, tersedia doorprize, dan berbagai hiburan yang menjadikannya seperti pesta rakyat. Saya berkesempatan hadir langsung dalam pemusnahan sabu tersebut, yang dilaksanakan pada Kamis, 12 Juni 2025, di Alun-Alun Engku Putri, Batam.
BNNP Kepulauan Riau memusnahkan sabu menggunakan insinerator portabel, mesin pembakar yang mampu menghancurkan narkoba tanpa menyisakan zat berbahaya. Namun, yang paling penting bukanlah upacara pemusnahannya, sambutan pejabat, atau ramainya media. Yang paling utama adalah kesadaran bersama bahwa ini bukanlah akhir perjuangan. Jika hanya berhenti pada seremoni, ibaratnya kita hanya memotong ranting, bukan mencabut akar. Padahal, akar kejahatan inilah yang harus dicabut agar tidak tumbuh dan menyebar lebih luas.
Tepuk tangan memang layak diberikan kepada aparat penegak hukum. Namun, perjuangan belum selesai. Mereka harus terus bergerak, bukan hanya menangkap kurir, tapi juga mengungkap pabrik gelap, jalur penyelundupan, bandar besar, dan seluruh jaringan yang membuat narkoba tetap hidup di negeri ini. Tidak boleh ada kompromi, karena ini bukan sekadar kejahatan, tapi pertaruhan masa depan generasi—masa depan bangsa.
Sebagai pelajar, saya merasa kehadiran kami—para pelajar dan masyarakat umum—dalam acara pemusnahan ini bukan hanya untuk menyaksikan, tetapi juga untuk belajar bersikap dan bertindak. Kami pulang dengan satu pesan kuat: jika narkoba menyebar melalui jaringan, maka perlawanan kita juga harus membentuk jaringan—yang saling terhubung dan saling menguatkan.
Apakah pemusnahan ini sebuah prestasi? Mungkin iya. Tapi jika kita lengah, ini juga bisa menjadi tanda bahwa tragedi sesungguhnya belum benar-benar berlalu. (***)