Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Gangguan kesehatan mental tak mengenal usia. Remaja pun rentan terserang gangguan mental. Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menyebut, 1 dari 7 remaja di dunia me-ngalami tantangan dalam kesehatan mental.
Secara global, menurut data WHO, 1 dari 7 remaja usia 10–19 tahun mengalami gangguan mental. Kondisi ini menyumbang sekitar 15 persen dari total beban penyakit pada kelompok usia tersebut. Depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku menjadi penyebab utama penyakit dan disabilitas di kalangan remaja. Yang memprihatinkan, secara global, bunuh diri merupakan penyebab kematian ketiga tertinggi pada usia 15–29 tahun.
Melihat fakta ini, Mantan Menteri Kesehatan sekaligus Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa (Keswa) Nila F. Moeloek mengajak semua pihak membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan mental ini. Termasuk pada remaja.
Dia berharap, sekolah tak hanya jadi tempat belajar. Tapi juga bisa menjadi salah satu wadah untuk membina pertumbuhan emosional dan psikologis anak.
“Kolaborasi keluarga, sekolah, dan komunitas sangat penting agar remaja merasa aman untuk mengekspresikan diri dan mencari dukungan,” tuturnya dalam acara “Mental Health Unplugged: Stories, Chats, and Laughs” yang digelar oleh Sinarmas World Academy (SWA) bekerja sama dengan Kaukus (Keswa), dikutip Sabtu (14/6).
Dalam kesempatan yang sama, Aktivis Sosial Inaya Wahid turut menekankan pentingnya keberanian untuk terbuka dan mencari pertolongan ketika menghadapi tekanan mental. Dia menilai, mencari pertolongan ahli bukan berarti lemah atau gila.
“Tidak ada yang salah dengan merasa lelah atau terpuruk. Yang penting, kita mau bicara, meminta bantuan, dan saling mendukung. Dukungan lingkungan, baik keluarga maupun sekolah, adalah kunci,” tegasnya.
Senada, Mo Sidik, komika, turut mendorong para remaja tak ragu mencari pertolongan. Dia mendorong agar para remaja tak ragu mencari kebahagiaan, salah satunya lewat humor.
“Tertawa memang bukan solusi semua masalah, tapi kadang, lewat humor kita bisa menerima diri sendiri dan menjalani hidup lebih ringan,” ungkapnya.
Sementara itu, General Manager SWA Deddy Djaja Ria menegaskan, ketahanan emosional siswa sama pentingnya dengan prestasi akademik. Karena itu, menjadi penting untuk membangun literasi kesehatan mental, memecah stigma, dan memperkuat budaya empati di lingkungan sekolah.
“Kami ingin siswa tak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga siap menghadapi tantangan hidup,” pungkasnya.
Diakui Dwi Haryani, salah satu orang tua siswa SWA, kadang dirinya terlalu sibuk mengejar keberhasilan anak secara akademis. Orang tua kadang lupa bahwa anak-anak juga mengalami masalah dan butuh ruang untuk merasa aman serta didengar.
“Diskusi ini membuka mata saya, bahwa kesehatan mental bukan sekadar isu anak, tapi juga tanggung jawab kita sebagai keluarga,” ungkapnya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : RYAN AGUNG