Buka konten ini
Pemkab Probolinggo menerbitkan surat keputusan terkait perlindungan hukum adat Tengger, sedangkan Pemprov Jatim terus mengimplementasikan kebijakan Jatim Harmoni dan mendukung penguatan fisik infrastruktur kawasan Bromo. Tokoh setempat juga meminta 25 titik sakral tidak dieksploitasi secara komersial untuk melindungi kesucian.
BEBERAPA jam sebelum puncak perayaan Yadnya Kasada di Gunung Bromo, Rabu (11/6) dini hari, warga Tengger mendapat sejumlah “kado”. Dari penerbitan surat keputusan (SK) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tengger sampai dukungan pelestarian budaya dan Program Hibah Jalan Daerah (PHJD).
Mengutip Radar Bromo (grup Batam Pos), kado pertama datang dari Pemerintah Kabupaten Probolinggo. SK secara simbolis diserahkan Bupati Probolinggo Mohammad Haris saat resepsi Yadnya Kasada di Pendapa Agung Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo pada Selasa (10/6) malam.
SK tersebut menjadi payung hukum awal bagi pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat Tengger yang selama ini hidup turun-temurun menjaga tatanan budaya dan nilai-nilai leluhur di wilayah Gunung Bromo dan sekitarnya. “Selama ini adat kami diwariskan dari nenek moyang, dari orang tua ke anak-anak, tapi dalam bentuk lisan. Dengan SK ini kami berharap ada penguatan hukum dan pencatatan tertulis agar semua adat yang berlaku di masyarakat bisa direkam dan dipahami secara utuh,” ungkap Yulianto, tokoh muda adat Desa Ngadisari.
Kado kedua datang dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Wakil Gubernur Jatim Emil Elestiano Dardak menyebut, Pemprov Jatim terus mengimplementasikan berbagai kebijakan strategis untuk menjaga kelestarian budaya masyarakat Tengger. Itu sesuai Nawa Bhakti Satya, yakni Jatim Harmoni.
Pemprov Jatim, tambah Emil, juga mendukung PHJD di kawasan Gunung Bromo. “Jadi, secara fisiknya diperkuat infrastruktur, dengan aspal, batu, dan beton,” katanya.
Bersama Emil dan Haris, hadir pula dalam resepsi Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Dalam kesempatan tersebut Fadli juga dikukuhkan sebagai warga kehormatan sesepuh masyarakat Tengger.
“Kami sangat menghargai budaya masyarakat Tengger yang sudah berabad-abad. Ini merupakan apresiasi terhadap kekayaan budaya kita,” kata Fadli.
Anak Agung Ayu Mira Krisnawati datang jauh dari Bali ke Bromo demi bisa bersembahyang saat Kasada. Baginya, itu kesempatan yang istimewa.
“Karena Kasada itu bertepatan dengan hari suci, yaitu bulan purnama. Dalam kepercayaan kami, bulan purnama memiliki nilai spiritualitas yang tinggi. Jadi sayang kalau dilewatkan,” katanya kepada Radar Bromo.
Mira adalah satu dari sekian banyak umat Hindu dari berbagai kota lintas provinsi yang juga menyempatkan diri hadir di Bromo. Peringatan Yadnya Kasada setiap tahunnya digelar bertepatan dengan bulan purnama, yaitu pada tanggal 14 bulan Kasada atau bulan kesepuluh dalam kalender Tengger.
Mira mengaku sudah dua kali beribadah di Pura Luhur Poten Bromo saat perayaan Kasada. Yang pertama dilakukannya beberapa tahun lalu. “Sudah lama tidak, saya rindu juga suasana di sini. Makanya, saya kembali tahun ini,” ujarnya.
Yulianto menekankan pentingnya menjaga kesakralan kawasan adat, termasuk 25 titik keramat yang tersebar di wilayah adat Tengger, seperti punden-punden dan situs spiritual lain. “Ada beberapa area yang merupakan tempat sakral bagi kami. Kami mohon agar tidak dieksploitasi, supaya kesakralan budaya tetap terjaga dan tidak tergeser oleh kepentingan lain,” harapnya.
Gus Haris, sapaan akrab Bupati Probolinggo, menyebut penerbitan SK sebagai langkah awal dari proses panjang melindungi masyarakat adat Tengger secara komprehensif. Ia menegaskan komitmen pemerintah daerah untuk terus mendokumentasikan dan menjaga nilai-nilai budaya masyarakat Tengger.
Termasuk legenda Rara Anteng dan Jaka Seger yang menjadi cikal bakal lahirnya masyarakat Tengger.
“Selanjutnya, kami akan merekam sejarah dan budaya masyarakat adat Tengger, agar anak cucu kita tetap mengenal dan mencintai budayanya sendiri. Kami juga akan mendorong pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) bersama DPRD untuk memperkuat perlindungan hukum adat ini,” jelasnya. (***)
Laporan: INNEKE AGUSTIN – INAYAH MAHARANI – EKO HENDRI SAIFUL
Editor: RYAN AGUNG