Buka konten ini
Jazz di Batam belum mati. Ia hanya sempat diam, menunggu ruang untuk kembali bernapas. Kini, lewat tangan para penjaga nada dari Batam Jazz Society (BJS), musik penuh improvisasi itu kembali mengalir di sudut-sudut kafe kota, menyapa penonton yang rindu akan harmoni bebas yang lahir dari kebersamaan.
TAK ada aba-aba, tak ada pengantar panjang. Tiba-tiba saja seorang musisi senior bersenandung—lirih namun penuh kendali, menyambar udara malam dengan frase yang tak mudah dikenali. “Yesterday, just a photograph of yesterday…” Suaranya menggema pelan, lalu disambut hentakan ritmis dari bass dan drum yang berloncatan seperti mata air.
Malam yang sebelumnya tenang berubah jadi ledakan kejutan saat mereka mulai membawakan Spain; lagu lawas Al Jarreau yang energinya meledak. Tak semua tamu mengenali, tapi mereka yang tahu, tersenyum lebar dan langsung ikut bergerak.
Begitulah cara Batam Jazz Society (BJS) menutup malam di Waroeng Masalalu, pada Selasa (10/6) malam. Bukan dengan sesuatu yang aman atau populer, tapi dengan keberanian melantunkan karya yang rumit, eksperimental, dan penuh semangat.
Lagu itu bukan untuk mereka yang hanya ingin mendengar, tapi untuk yang siap menyelam dalam ketukan rumit dan dinamika yang berubah-ubah. Dan para musisi yang tampil malam itu bukan sembarang pemain. Mereka adalah para penjaga jazz Batam.
Dalam keheningan yang dikecup lampu-lampu temaram dan desir angin yang menyentuh dedaunan, jazz tidak hanya terdengar, tapi terasa. Seperti seseorang yang datang diam-diam, lalu duduk di sebelah hati, mengajak bicara tentang hal-hal yang tak sempat diberi nama.
Acara itu merupakan tajaan BJS: komunitas bersahaja yang sejak lama setia merawat denyut jazz di kota pulau ini. Mereka tak hanya menyiapkan panggung dan alat musik, tapi juga menyatukan benang-benang cinta dari para penggemar jazz lokal, menyimpan cerita pada tiap tuts yang ditekan.
Di tengah formasi malam itu, seorang penyaksi nada—pemain saksofon—mulai mengembara dalam perjalanan musik mereka. Ia meniupkan nada-nada lirih yang seolah memanggil pulang ingatan, menyusuri alur waktu yang tak pernah benar terlupa. Di sisi kanannya, petikan gitar elektrik menyelusup pelan, menganyam langit malam dengan kisah yang tak bisa dilisankan. Tak jauh dari situ, keyboard bersuara seperti sungai tua yang mengalir tenang tapi menyimpan kedalaman.
Para penonton, kebanyakan pecinta jazz kawakan dan pengunjung kafe yang tak sengaja menemukan keindahan ini, larut dalam atmosfer magis. Tak ada hiruk-pikuk, hanya percakapan pelan dan sesekali tepukan tangan kecil setelah tiap lagu usai.
Beberapa di antaranya tampak mengenal para pemain. Mereka bukan bintang panggung besar, tapi bintang kecil di langit Batam yang bersinar dengan lagamnya sendiri. Malam itu terasa seperti reuni diam-diam, antarjiwa yang sama-sama mencintai sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Malam itu, adalah ruang perjumpaan. Tak hanya antara musisi dan penonton, tapi juga antarsesama pemain jazz Batam yang jarang tampil bersamaan. Ada senyum, ada anggukan, ada riff spontan yang tak direncanakan. Semua mengalir alami, seperti jazz seharusnya. Di sela jeda, terdengar gelak kecil dan obrolan soal akor-akor lama yang disulap menjadi warna baru. Musik menjelma patois yang tak terbatas pada notasi.
Setelah sempat terhenti karena pandemi, BJS kini kembali konsisten menghidupkan program bulanan yang dulu rutin mereka gelar sejak awal 2010-an. “Ini program lama yang coba kami hidupkan lagi. Dulu sempat jalan sejak 2013 atau 2014, tapi tidak kontinyu. Tahun ini sudah empat kali kami adakan,” kata Ketua BJS, Ryan, usai acara.
Tak ingin jazz terjebak sebagai musik kalangan atas, BJS justru menyusuri kafe-kafe di Batam sebagai tempat pertunjukan. “Jazz ini sering distigma sebagai musik eksklusif, padahal kami ingin semua kalangan bisa menikmatinya. Gen Z juga harus punya ruang untuk mengenal jazz,” tambahnya.
Ada upaya nyata untuk menjembatani atmosfer ‘premium’ jazz dengan kerinduan generasi muda dan tua akan musik yang hidup. Dengan memilih tempat yang kasual tapi tetap nyaman, BJS ingin membuat jazz lebih membumi, tanpa kehilangan martabat artistiknya.
Tak ada yang mendominasi. Tak ada yang mengejar sorotan. Semua larut dalam ritme yang saling memberi ruang, saling mendengar. Dan itulah inti dari jazz yang sebenarnya.
Bagi para musisi senior yang sudah jarang tampil, pertunjukan ini menjadi semacam ruang temu. Tempat mereka melepas rindu pada permainan langsung, pada dialog musikal yang tak bisa dibuat-buat.
“Selain jadi ajang hiburan, ini juga tempat silaturahmi. Musisi-musisi tua yang jarang bermain, mereka kangen. Di sini mereka bisa ngumpul dan spontan main,” kata Ryan.
Improvisasi menjadi tulang punggung malam itu. Tidak ada aransemen kaku. Semuanya lahir dari momen, dari intuisi, dari saling percaya. Dan dari kesediaan untuk mendengarkan, bukan hanya bermain. Ryan menyebut, spontanitas sebagai jantung jazz yang paling otentik.
“Sebenarnya spontanitas itu jadi bagian dari jazz itu sendiri. Di dunia akademik, itu disebut improvisasi. Dan itu yang paling menyenangkan dari jazz,” ujar dia.
Dengan konsep berpindah dari satu tempat ke tempat lain setiap bulan, BJS berharap bisa menjangkau lebih banyak ruang, lebih banyak telinga. Mereka ingin membuktikan bahwa jazz tidak eksklusif, hanya sering kali tak diberi kesempatan.
“Kita tahu pengikut jazz ini memang terbatas dibanding genre lain. Makanya penting buat kami menyosialisasikan terus. Kita bergeraknya dari komunitas,” ujarnya.
Ia mengaku senang, belakangan jumlah pengunjung makin meningkat. “Alhamdulillah sejak akhir tahun lalu kita coba konsisten, dan ternyata jumlah pengunjung naik. Malam ini juga makin ramai,” lanjutnya.
Waroeng Masalalu bukan hanya jadi saksi pertunjukan, tapi menjadi semacam tempat ziarah bagi mereka yang percaya bahwa jazz tak pernah mati, hanya butuh ruang untuk bernapas. Ketika lagu terakhir selesai dan malam mulai turun sepenuhnya, tak ada yang benar-benar ingin pulang. Sebab jazz yang dimainkan dengan sepenuh hati tak sekadar didengar—ia menetap, diam-diam tinggal di dada. (***)
Laporan: ARJUNA
Editor: RYAN AGUNG