Buka konten ini

Head of Learning Environment Tanoto Foundation
APA yang membuat suatu negara bisa melesat menggapai kemakmuran, sementara negara-negara lain masih berkubang dalam kemiskinan? Pertanyaan ini menjadi pembuka dalam buku The Prosperity Paradox (2019) karya Profesor Clayton Christensen dari Harvard University.
Buku itu mengisahkan perbandingan Korea Selatan dengan negara di Benua Afrika seperti Republik Afrika Tengah, Burundi, Malawi, Gambia, dan Madagaskar. Sebagai gambaran, pada 1960, GDP (gross domestic product/produk domestik bruto) per kapita Korea tercatat USD158, sedangkan Madagaskar USD 131 dan Burundi USD 70. Enam dekade kemudian, pada 2000, GDP per kapita Korea sudah mencapai USD 31.721 atau melesat 200 kali lipat dari 1960.
Banyak negara, termasuk Indonesia, yang ingin mengikuti jejak Korea Selatan untuk bisa naik kelas. Lantas, apa resep suksesnya?
Dalam bukunya, Christensen menyebut satu kata kunci: inovasi. Namun, inovasi tidak tumbuh di ruang hampa. Ia lahir dari akar yang lebih dalam, yakni pendidikan yang berkualitas dan terencana. Di balik inovasi, Korea Selatan membangun sistem pendidikan yang berfokus tidak hanya pada pendidikan, tetapi juga model penciptaan nilai dan pendistribusiannya.
Di sinilah tantangan itu terbentang. Dari aspek alokasi anggaran pendidikan, UNESCO merekomendasikan 4–6 persen dari PDB untuk pendidikan demi terciptanya pendidikan yang berkualitas. Korea Selatan pada 2021 menganggarkan 4,87 persen dari GDP untuk pendidikan. Adapun Indonesia baru 1,03 persen dari GDP.
Sementara itu, dari aspek skor PISA, Korea Selatan termasuk salah satu negara dengan skor tertinggi di dunia dalam bidang literasi (peringkat ke-4), sains (ke-5), dan matematika (ke-6) dari 81 negara. Sementara Indonesia di peringkat ke-71 (literasi), ke-67 (sains), dan ke-69 (matematika).
Mandat Kolaborasi
Satu hal yang harus disadari bersama, pendidikan adalah investasi jangka panjang dan memiliki kompleksitas tinggi. Karena itu, diperlukan kolaborasi banyak pihak. Pendidikan bermutu bukan sekadar soal infrastruktur atau fasilitas, tapi lebih dalam dari itu: kualitas guru. Guru adalah penentu utama keberhasilan pembelajaran.
Asia Philanthropy Circle (APC) mengangkat riset dari 69 literatur yang melibatkan sekitar 14 ribu guru dan 1,4 juta siswa selama 23 tahun (1978–2001). Riset itu menunjukkan bahwa siswa dengan guru berkinerja baik (high performing teachers) menunjukkan prestasi 53 persen lebih tinggi di kelas XI daripada siswa yang diajar oleh guru berkinerja rendah.
Selain itu, siswa di sekolah yang dipimpin kepala sekolah berkualitas menunjukkan prestasi 22 persen lebih tinggi daripada siswa di sekolah yang dipimpin kepala sekolah berkinerja rata-rata.
Hal itu menegaskan bahwa perbaikan kualitas guru dan kepala sekolah berbanding lurus dengan kualitas pendidikan. Sayang, tidak semua siswa Indonesia punya kemewahan memilih guru dan kepala sekolah unggul. Banyak yang terbatas oleh kendala geografis dan sosial ekonomi.
Karena itu, peningkatan kompetensi pendidik harus dilakukan secara nasional dan merata. Di mana pun anak Indonesia belajar, mereka berhak mendapat pengajaran bermutu.
Guru Pembelajar
Namun, bagaimana kondisi guru di Indonesia? Dari sisi profesi, menjadi guru di Indonesia masih dianggap kurang menjanjikan. Prospek karier yang terbatas, beban kerja tinggi, serta kesejahteraan yang belum memadai membuat profesi itu kurang menarik bagi talenta terbaik bangsa, terutama pada tingkat prasekolah dan sekolah dasar.
Beberapa daerah juga belum menempatkan pendidikan sebagai prioritas. Akibatnya, pemanfaatan anggaran untuk pendidikan kurang optimal untuk menghadirkan guru-guru terbaik.
Sementara itu, di banyak negara maju, profesi guru mendapat tempat istimewa. Bahkan, talenta-talenta terbaiknya ditempatkan di prasekolah dan sekolah dasar. Sebab, di periode inilah fondasi seorang anak dibangun.
Bagaimana kualitas guru di Indonesia? Hasil uji kompetensi guru (UKG) periode 2015–2021 menunjukkan, 81 persen guru di Indonesia belum mencapai nilai minimum. Mengutip laporan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, baru 44 persen dari 2,9 juta guru di Indonesia yang memiliki sertifikasi pendidik. Lebih dari 50 persen belum menjalani pendidikan profesi guru.
Artinya, bukan hanya murid yang harus belajar, guru pun harus terus belajar agar mampu mengajar secara lebih inovatif dan efektif. Studi World Bank 2015 di Indonesia juga menunjukkan, kenaikan 10 poin pada skor asesmen guru dapat meningkatkan skor ujian siswa hingga 1,7 poin.
Dua hal itulah PR besar kita. Bagaimana dapat menarik talenta terbaik untuk menjadi guru dan bagaimana meningkatkan kualitas guru yang ada.
Pendekatan upskilling dan reskilling bisa dijadikan salah satu metode. Yakni, mengasah guru untuk memfasilitasi pembelajaran yang berorientasi pada siswa. Dengan konsep training for trainer, mereka kemudian membagikan ilmu dan pengalaman kepada guru-guru dan pengurus sekolah lainnya.
Guru pembelajar tidak hanya mencetak murid pintar, tetapi juga membuka jalan pengembangan karier dan transformasi ekosistem pendidikan di daerahnya. Sebab, sejatinya, guru adalah pembelajar sepanjang hayat. Sebagaimana yang pernah dikatakan cendekiawan Komaruddin Hidayat, ’’Guru yang berhenti belajar harus berhenti mengajar.’’ (*)