Buka konten ini

Dosen FKIP Prodi PGSD Universitas Slamet Riyadi Surakarta
RENCANA guru honorer menerima bantuan Rp 300 ribu per bulan mulai Juli (Jawa Pos, 8 Juni 2025) menarik diapresiasi. Namun, manakala muncul tawaran menggiurkan bagi guru dalam upaya memuliakan mereka, tumbuh harap-harap cemas.
Bukannya mengedepankan pesimisme tidak berkesudahan, saya mengkhawatirkan rencana pemberlakuan bantuan bagi guru itu, terutama guru honorer, merupakan gula-gula kesekian untuk meredam keresahan kaum intelektual edukatif menyikapi kesejahteraan mereka selama ini. Memecahkan permasalahan kesejahteraan guru tidak bisa dengan serta-merta menambah penghasilan, tetapi di baliknya memunculkan potensi ledakan permasalahan yang tidak kunjung terselesaikan.
Fenomena itu bukanlah isapan jempol. Saya meyakini, sebagian besar guru di negeri ini sudah sedemikian kenyang mendapat beragam janji berujung sakit hati. Tunjangan, pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil, hingga beberapa janji manis spektakuler lain mewarnai guru selama menjalankan profesi mereka. Realisasi selama ini sedemikian menyakitkan hingga memunculkan rupa-rupa reaksi perlawanan.
Bantuan bari guru honorer tersebut diharapkan bukan sekadar respons reaktif bernuansa pencitraan. Adagium kewalahan pengambil kebijakan sehingga memunculkan wacana pemberlakuan standardisasi bisa menimbulkan banalisasi di kalangan guru apabila tidak disikapi secara proporsional.
Perhitungan Konkret
Besaran penghasilan yang layak diterima guru honorer memerlukan pembahasan simultan semua kalangan dengan memperhitungkan asas proporsional profesi. Asumsi itu terbangun dengan memperhatikan hakikat profesi guru. Suka atau tidak suka, tanpa disadari, guru merupakan makhluk intelektual.
Manakala pengajuan tuntutan buruh menyentuh ranah rekreatif sebagai komponen penilaian kelayakan upah, tentu besaran komponen kesejahteraan yang harus diberikan untuk guru lebih dari tuntutan buruh. Bukannya mengecilkan peran buruh. Namun, logikanya, ketika penghargaan pada profesi yang menghadapi mesin menuntut komponen beragam, tentu profesi yang menghadapi manusia dengan beragam dinamikanya memerlukan komponen yang lebih proporsional.
Revolusi penyejahteraan guru honorer mutlak memerlukan pemahaman komprehensif. Menyamaratakan penghasilan guru dengan sebatas menaikkan besaran penerimaan pokok guru bukanlah tindakan bijak. Realitas di lapangan menunjukkan, selama ini guru honorer digaji sebatas jumlah jam mengajar. Komponen itulah yang menjadi pokok permasalahan kesejahteraan.
Minimal jam mengajar 24 jam per pekan bagi guru profesional merupakan tamparan keras bagi guru honorer karena terjadi degradasi penghasilan besar-besaran. Berdasar status kepegawaiannya, guru honorer pun terposisikan dalam strata terendah sehingga marginalisasi berdasar jam mengajar merupakan kemafhuman.
Sosiopsikis Profesi
Riilnya, kemunculan guru honorer tidak semata-mata bermotif utama kesejahteraan, tetapi terkadang terbalut oleh keinginan pengabdian yang sedemikian absurd dinalar. Sering ditemukan guru honorer yang tidak sebatas mencari kesejahteraan, tetapi berdalih pengabdian. Akibatnya, sulit mencari data valid bagaimanakah penghargaan kompetensi terhadap mereka.
Pengedepanan penghargaan status dibandingkan dengan penghargaan material menjadikan kontrol penyejahteraan teramat absurd. Fenomena guru wiyata bakti beberapa saat silam atau guru honorer K -1, K-2, hingga K kesekian merupakan bukti. Manajemen kepegawaian berbasis impian itu teramat sulit diimplementasikan dalam penghargaan status pribadi bersangkutan. Fakta di lapangan menunjukkan, ternyata manajemen berbasis impian manis itu terkadang menjadi tragis. Impian-impian digulirkan. Namun, realisasi yang jauh dari harapan menunjukkan betapa kuatnya janji manis tersebut dalam memperlakukan guru.
Fenomena itu teramat riil diberlakukan dan memunculkan perlawanan dalam diam bagi guru honorer. Dampak sistemik kepegawaiannya memunculkan ketiadaan kontrol bagaimanakah penghargaan profesi itu diberlakukan. Walaupun bersifat kasuistis, sudah menjadi rahasia umum bahwa pola kinerja guru di negeri ini menunjukkan fenomena serba terbalik. Kerap kali ditemukan guru honorer justru memiliki kinerja luar biasa daripada guru berstatus PNS.
Bahkan, konyolnya, saya sempat mendengar pernyataan dalam dunia pendidikan saat ini: lebih sulit mencari siswa daripada mencari guru. Ilustrasinya, manakala seorang siswa mengalami permasalahan dalam akademiknya, diupayakan semaksimal mungkin untuk mempertahankannya. Di sisi lain , ketika sekolah memecat seorang guru, besoknya ratusan calon guru sudah antre untuk menggantikannya.
Harapan
Wacana penyejahteraan guru honorer merupakan asa tersendiri. Selayaknya hal itu diberlakukan dengan memperhatikan beberapa hal pokok. Di antaranya, pertama, pembentukan guru watch. Yaitu, lembaga ad hoc yang memiliki kewenangan khusus untuk memberikan rekomendasi terkait dengan penentuan standar kelayakan guru, terutama guru non-PNS. Lembaga itu mutlak dibentuk secepatnya mengingat sampai saat ini belum terdapat mekanisme penghargaan profesi guru.
Kedua, stimulasi anggaran berkeadilan. Di tengah gaung pengurangan subsidi BBM, selayaknya dapat dipikirkan bagaimanakah implikasi bagi penyejahteraan guru. Pemanfaatan anggaran berkeadilan itu harus dikontrol seproporsional mungkin.
Ketiga, transparansi penyaluran kesejahteraan. Perhitungan penilaian berbasis kinerja menjadi langkah pendukung agar optimalisasi kesejahteraan dapat menjangkau seluruh kalangan guru. Penilaian berbasis kinerja sekaligus menjadi jawaban bagaimanakah sebenarnya kompetensi guru selama menjalankan tugas profesional mereka. Jika selama ini muncul tudingan bahwa ada guru dengan kinerja luar biasa dan ada guru berkinerja biasa-biasa saja, selayaknya penilaian ini bisa memberikan jawaban proporsional. (*)