Buka konten ini

Guru Besar Hukum Lingkungan; Wakil Direktur Bidang Riset, Pengabdian Masyarakat, Digitalisasi & Internasionalisasi Sekolah Pascasarjana Unair
KLH Periksa Empat Perusahaan Nikel di Raja Ampat, Satu Disegel karena Terbukti Mencemari Lingkungan. Demikianlah judul berita Jawa Pos (9 Juni 2025) yang mewarnai kegemparan krisis ekologis di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Realitas yang menyentak ranah publik yang diikuti langkah penegakan hukum lingkungan oleh institusi negara (Kementerian Lingkungan Hidup/KLH) meski akan diuji tingkat efektivitasnya ke depan.
Apa yang terhelat di raut muka Raja Ampat itu merupakan manifestasi bopengnya wajah pertambangan nikel. Sungguh, khalayak ramai tertunduk dalam duka karena Raja Ampat, yang memiliki atribut global geopark, zamrud kars khatulistiwa, justru terkoyak oleh korporasi pertambangan nikel yang bervisi membangun energi baru terbarukan (EBT).
Di Raja Ampat tertorehkan peristiwa hukum pencemaran dan kerusakan alam yang secara ekologis dapat diperkirakan, mengingat apa yang terjadi itu setarikan napas berada dalam lingkup otoritas negara. Perusahaan yang tengah disegel dan diperiksa KLH merupakan subjek hukum yang operasionalnya bertumpu pada perizinan yang diberikan pemerintah (pusat maupun daerah).
Degradasi Ekologis
Konstelasi kasusnya sangat terang bahwa deforestasi dan polusi serta degradasi ekologisnya telah nyata sebagaimana tampak dari pelbagai liputan media massa. Kasus Raja Ampat seolah melengkapi ’’tangis ekologis’’ Danau Sentani pada 2013. Areal Pegunungan Cycloop yang bernama lokal Robongholo telah mengalami deforestasi. Kerusakan lanskapnya mengubah cagar alam terbesar di Indonesia (31.479,9 hektare) dengan nestapa lahan kritis yang menurut data WWF Indonesia mencapai 1.500 hektare pada 2015.
Realitas itu berdampak kepada kerusakan ekosistem Danau Sentani sekaligus ’’cermin retak’’ penyalahgunaan ruang dan wujud penafian pembangunan terhadap kepentingan ekologi demi syahwat ekonomi.
Kekelaman di Raja Ampat itu makin merekam kesengsaraan lingkungan di Papua pada umumnya. Ini merupakan tamparan keras agar pemegang mandat tidak mengalami ’’amnesia konstitusional’’. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 telah menormakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kerusakan lingkungan dan ’’gizi buruk massal’’ yang disebabkan ’’kondisi alam maupun kesehatan yang buruk’’ menjadi bukti rendahnya kinerja ekologis negara. Neraca kejadian itu mengingatkan saya pada buku Roman Papua yang berjudul Isinga karya Dorothea Rosa Herliany (2015). Roman yang mengisahkan derita dan perjuangan kaum isinga (ibu) atau perempuan di Papua melalui gambaran eksotis sekaligus menghadirkan elegi.
Cekam kemanusiaan dan lingkungan terus tercatat dalam bongkahan sejarah tanah Papua. Alam yang indah nan tampak perawan ternyata dengan mudah dirudapaksa atas nama investasi olah nikel demi perilaku ramah lingkungan. Paradoks yang abai, tambang yang membuang limbah, padahal itu adalah soal pilihan kebijakan, mau berorientasi ekologis ataukah keserakahan yang antroposentris.
Menautkan Hati
Atas nama humanisme dan pesan perjalanan sebuah era, tentu kita harus merasa terpanggil memaknai Papua melalui pembangunan secara utuh. Dalam bahasa insan wilayah kaya tambang yang dimabuk asmara adalah ’’kita mesti mampu menautkan hati’’: hat hinda an ninda (hatimu hatiku) hingga dukamu dukaku.
Rakyat Papua tidak elok hidup miskin dengan alam yang memesona. Adalah suatu keganjilan apabila kekayaan itu justru menimpuk daya dukung dan daya tampung lingkungan di ekosistemnya seperti Gunung Grasberg maupun Danau Wanagon. Lihatlah Sungai Aghawagon, Sungai Otomona, dan Sungai Ajkwa yang memendam luka ekologis tailing.
Saya teringat pula filosofi Suku Amungme yang telah dikenal luas: Te aro neweak lamo. Ungkapan itu sangat familier sekaligus menunjukkan tingkat magis yang luar biasa. Suatu penggambaran hubungan yang tiada batas antarwarga Papua dengan hamparan tanah dan gunung yang kaya raya. Te Aro Neweak Lamo yang berarti ’’Alam adalah diriku, aku adalah tanah’’ sebagaimana yang diceritakan dalam buku Quo Vadis Papua (2013) yang ditulis putra Papua, Freddy Numberi.
Dengan ungkapan itu, telah terkisahkan berderet cerita, berjajar pelajaran, dan bertumpuk hikmah serta berpendar teladan atas relasi yang sangat ritmis antara warga Papua dan tanah kelahirannya. Tanah yang telah memberikan banyak keajaiban dengan keragaman hayatinya.
Kesadaran tertinggi yang dapat dipetik pastilah: Raja Ampat maupun Papua harus dijaga, dirawat, dan terus disyukuri tanpa henti untuk memenuhi kebutuhan seluruh anak negeri yang berbasis nilai-nilai ekologis. Bumi Cenderawasih, hat hinda an ninda, hatimu, hatiku. Save Raja Ampat. (*)