Buka konten ini

Asisten Penasihat Khusus Presiden RI Bidang Haji
Senja menjelang malam itu, para jemaah haji sudah merapat ke matham atau ruang makan sebuah hotel di kawasan Misfalah, Makkah, untuk mengambil jatah makan rutin. Sarapan bisa diambil mulai pukul 05.00, makan siang mulai 11.00, dan makan malam mulai pukul 17.00.
Namun, malam itu hingga pukul 19.30, makanan belum datang. Beberapa jemaah terlihat mulai resah. Petugas haji berusaha menenangkan dengan mengatakan, keterlambatan itu mungkin disebabkan kemacetan. Saya tahu, sebenarnya bukan itu yang menjadi penyebab keterlambatan makanan.
Di antara wajah-wajah cemas yang sedang menanti kedatangan makan malam itu, ada seseorang yang teramat tenang. Berusia akhir 50-an tahun, berperawakan sedang, berbadan kurus, jambang dan kumisnya terlihat mulai memutih di sana-sini. Tertarik oleh gestur teduhnya, saya mempersilakannya duduk di samping saya.
Duduk sini, Pak. Sambil menunggu makanan datang, kita cerita-cerita.
Sebagai petugas piket, saya meminta maaf atas keterlambatan makan malam kali ini. Karena sering menghadapi komplain dan kemarahan jamaah dalam hal-hal lain yang lebih ringan, setting default emosi saya adalah siap menerima tumpahan komplain dan kemarahan. Sebab, ini soal besar: makanan. Tetapi…
Saya santai saja, Pak. Dalam mengurus banyak orang seperti haji ini, satu dua kali keterlambatan adalah hal biasa…
Luar biasa! Ucapan jemaah itu tak hanya jauh dari dugaan saya, tetapi menjelma sebagai oase di padang pasir. Bukan hanya hati yang lega, seketika nalar ilmiah saya juga mekar.
Urban dan Rural
Beberapa hari belakangan, saya sering iseng mengamati perilaku jemaah haji berlatar belakang urban (perkotaan) dan rural (pedesaan). Dari pengamatan enteng-entengan itu, saya punya tesis.
Tesisnya begini: jemaah berlatar belakang pedesaan cenderung memiliki tingkat apresiasi, toleransi, dan permakluman yang lebih tinggi daripada jemaah haji urban. Dasar yang saya pakai, dari banyak protes, komplain, kemarahan, dan bahkan cacian yang kami terima sebagai petugas haji, rerata berasal dari jemaah dengan latar belakang perkotaan.
Pria itu bernama Nurudin, asal Mojoagung, Jombang, Jawa Timur. Setelah saya pancing dengan beberapa lontaran, ia tiba-tiba dengan fasih berbicara tentang sosiologi masyarakat desa.
Seperti tidak mau kalah berteori, Nurudin pun menganalisis. Orang desa, katanya, terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Mereka mandiri dan terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Tidak neka-neka.
Dalam balutan kesederhanaan itu, mereka bermimpi ingin menunaikan ibadah haji. Maka ibadah haji yang kini mereka jalani adalah buah perjuangan belasan bahkan puluhan tahun.
Mengumpulkan rupiah demi rupiah dari aneka pekerjaan yang tak bisa dipastikan besaran pendapatan harian, mingguan, atau bulanannya. Jadi, ketika kini mengalami haji dengan segala pelayanan yang diberikan, itu sesuatu yang jauh di luar bayangan mereka.
Perbincangan kami terus berlanjut. Saat itu masuklah beberapa jemaah lain untuk mengambil jatah makan yang belum juga datang. Mengetahui hal itu, si jemaah langsung menekuk mukanya dan melontarkan kata yang kurang enak didengar telinga, apalagi dirasakan di hati. Cara terbaik menghadapinya adalah membalas dengan senyuman.
Nurudin kembali menganalisis. Dia heran dengan sikap seperti itu. Bekal makanan jemaah itu lho banyak. Mereka bawa mi instan yang gak bakal habis sampai pulang. Ada juga aneka camilan. Kenapa harus marah karena menunggu makanan yang tak kunjung datang. Buat mi instan kan bisa.
Nurudin adalah tipe jemaah haji rural yang penuh toleransi. Namun, berbalik dengan orang desa yang mandiri, masyarakat urban cenderung menuntut kesempurnaan layanan. Salah satu sebabnya, menurut saya, adalah soal hakikat hidup di perkotaan.
Rata-rata masyarakat urban bekerja mengikuti hukum profesionalisme. Orang kota cenderung ahli dalam bidang masing-masing. Untuk hal-hal yang tidak dikuasai, mereka bergantung pada orang lain yang memiliki keahlian berbeda. Karena perbedaan profesi itu, orang kota pada umumnya bersifat interdependen, saling bergantung.
Sebaliknya, di desa tidak ada garis profesi yang tegas. Di desa kelahiran saya, di pelosok pesisir utara Lamongan, ada banyak orang yang bisa jadi apa saja. Pagi hari dia menjadi tukang gali sumur, tukang batu, tukang kayu, tukang cangkul sawah, tukang ojek, atau buruh ternak. Malamnya dia bisa berubah menjadi tukang pijat, juru potret acara-acara desa, tukang sound system, atau bahkan qari di acara-acara keagamaan. Karena cairnya sistem profesi di pedesaan, mereka memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.
Tak heran, ketika orang desa naik haji dan mendapatkan aneka pelayanan sejak dari tempat asal mereka, asrama haji, bandara embarkasi, di pesawat, sambutan hotel saat tiba di Makkah atau Madinah, jam makan yang teratur, hingga transportasi 24 jam dari hotel ke Masjidil Haram, itu adalah kemewahan yang luar biasa.
Bagi masyarakat urban, hampir semua layanan yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji adalah hal biasa. Naik pesawat, tinggal di hotel, transportasi mewah, makanan prasmanan, atau asisten rumah tangga. Itu semua menjadi bagian dari gaya hidup orang kota. Bagi orang kota, naik haji itu ya naik haji. Dalam arti haji untuk spiritualitas atau bahkan spiritual laundrying.
Bagi masyarakat rural, naik haji bukan hanya naik haji. Naik haji bukan hanya soal pengalaman spiritual menjejakkan kaki di Baitullah. Naik haji berarti naik pesawat, tinggal di hotel, naik lift, dan merasakan pelayanan makanan ala hotel.
Kalau mau melakukan sensus kecil, maka akan kita temukan fakta bahwa ada jamaah haji dari desa yang pertama kali naik pesawat ya saat naik haji itu. Itulah yang menjadikan mereka memiliki rasa syukur yang tinggi dan menghargai setiap proses ibadah haji, termasuk layanan petugas. (*)