Sabtu, 14 Juni 2025

Silakan berlangganan untuk bisa membaca keseluruhan berita di Harian Batam Pos.

Baca Juga

Gerhana Pencitraan di Langit Kebangsaan

Oleh: SUHARDI BEHROUZ
Pemerhati Politik, Alumnus Pascasarjana UKM Malaysia

HADIR dan lahirnya tokoh-tokoh politik dalam balutan pencitraan kian sukar ditampik. Terlebih lagi tokoh politik yang menduduki jabatan politis pasca pemilihan. Apa yang disebut Gunawan Muhammad sebagai politik kemasan, seakan memenuhi langit politik kebangsaan belakangan ini. Lantas, apa sesungguhnya yang terjadi? Benarkah politik pencitraan adalah gambaran bangsa yang ketandusan pemimpin berkualitas, atau memang rakyat sedang keranjingan tokoh narsistik yang memakai ragam “lipstik” yang menarik? Entahlah, yang jelas fenomena lahirnya tokoh-tokoh pemimpin narsistik sedang membanjiri kanal-kanal politik kebangsaan.

Pencitraan sejatinya adalah laku lumrah dalam kehidupan, terlebih dalam dunia politik. Publik mafhum bahwa politik adalah aktivitas mempengaruhi dan menciptakan opini. Pada Perang Dunia I dan II, politik propaganda menjadi sajian utama kala itu.

Namun, seiring perkembangan zaman dan pesatnya pertumbuhan teknologi, politik pencitraan seakan mendapatkan pijakan kuat dalam menggapai kekuasaan politik. Hari ini, hampir semua politisi memanfaatkan media sebagai wadah pencitraan diri, atau dalam bahasa politisi, media adalah sarana untuk mendekatkan diri dengan rakyat.

Gerhana politik pencitraan di langit kebangsaan setidaknya dipicu oleh beberapa hal. Pertama, ketandusan kapasitas sang pemimpin. Mereka mencitrakan diri sebagai sosok yang dekat dengan rakyat melalui kerja-kerja yang populis, seperti ikut turun membersihkan gorong-gorong, memberikan bantuan, dan sesekali bersikap tegas seolah menjadi bagian dari rakyat. Semua tindakan itu dipublikasikan melalui media sosial.

Artinya, sang pemimpin seakan berjalan dengan kamera yang selalu tersandang. Sekecil apa pun aktivitas yang terkait dengan rakyat dan memiliki daya endorsement, akan selalu tersiar dalam kanal-kanal media sosial dengan harapan bisa viral dan mendongkrak citra diri sebagai pemimpin yang berdiri untuk kepentingan rakyat. Padahal, Jean Baudrillard mengingatkan bahwa fotografi atau yang disebut sebagai gambar objektif sejatinya adalah pengungkapan atas dunia non-objektif.

Kedua, kerinduan rakyat akan pemimpin sejati. Bergantinya pemimpin dari waktu ke waktu ternyata tidak juga melepaskan dahaga akan hadirnya pemimpin yang benar-benar menjadikan rakyat sebagai tuan dalam pembangunan. Bertukar pemimpin hanya bertukar orang saja, namun kebijakan dan “rasa” dalam memimpin seakan sama saja. Alhasil, rakyat terus kecewa dan selalu berharap akan hadirnya pemimpin yang sejati.

Potret ini dilihat oleh politisi sebagai peluang untuk menampilkan dirinya sebagai sosok yang dirindukan itu. Namun, kala terpilih, tak ubahnya seperti yang dulu-dulu juga, bak kata pepatah, “bertukar beruk menjadi kera”. Nama boleh berbeda, kampanye menunjuk langit, namun rasa dengan rakyat berubah seketika.

Ketiga, kemandulan pengetahuan. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menjadi pemicu lahirnya pemimpin-pemimpin yang berbaju narsisme dan eksibisionisme. Hal ini diperparah oleh tokoh-tokoh berpengetahuan yang tidak memiliki daya injeksi untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Padahal, kata Noam Chomsky, tanggung jawab intelektual adalah untuk mengatakan kebenaran dan mengungkap kebohongan.

Nyatanya, mereka malah menjadi subordinasi dalam mengkampanyekan politisi-politisi karbitan untuk menggapai tujuan kekuasaan. Sehingga keunggulan pengetahuan dan mata terang yang mereka miliki menjadi mandul dan mengalami infertilitas, terkebiri oleh iming-iming materi, jabatan, kekuasaan, serta popularitas.

Keempat, ketirisan kesadaran. Seorang pemimpin sejatinya harus memiliki kesadaran utuh tentang hakikat kekuasaan. Kekuasaan bukanlah tujuan akhir kehidupan, melainkan wahana pengabdian untuk kesejahteraan rakyat dan mengejawantahkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan kebangsaan. Sehingga kata sepakat para pendiri bangsa yang diikat dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa bangsa ini hadir untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, semestinya menjadi pegangan untuk dilaksanakan.

Hanya saja, kesadaran itu mengalami ketirisan dan seakan hilang dalam diri pemimpin. Banyaknya pemimpin bangsa yang terjerat korupsi dan perilaku yang menjadikan kekuasaan sebagai ajang untuk memperkaya diri dan kroni-kroni menjadi buktinya.

Potret di atas menjadi penyebab ragam tumbuhnya politik pencitraan di langit kebangsaan. Menyalahkan tanpa melakukan koreksi dan perubahan hanya akan menghadirkan kurcaci-kurcaci politik yang tiada henti. Rakyat harus disadarkan bahwa pencitraan tidaklah sama dengan fakta. Bak kata Walter Lippmann, citra adalah persepsi di benak seseorang dan itu tidak selamanya sesuai dengan realitas yang sesungguhnya.

Menilai pemimpin dari apa yang tampak di depan, apalagi dalam balutan sorot kamera yang tersebar luas di media sosial, boleh jadi itu adalah “jebakan Batman” untuk meraih simpati rakyat. Padahal, realitasnya, pemimpin tersebut jauh dari harapan rakyat.

Menjadi rakyat yang cerdas dan teliti di tengah gempuran perkembangan teknologi yang tak bersekat menjadi keniscayaan yang harus melekat dalam diri setiap warga. Jangan sampai berulang kali tertipu oleh aplikasi filter kamera politik, apalagi terbuai oleh iming-iming materi yang tak seberapa ketika kampanye tiba. Sudah saatnya rakyat berdaulat agar kualat tak menghampiri bangsa ini.

Oleh karena itu, pemimpin harus menyadari siapa diri mereka yang sesungguhnya. Bukankah tanpa rakyat memilih mereka, mereka bukanlah siapa-siapa? Ketika amanah diberikan, embanlah dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat, bukan mengemas diri dengan pencitraan seolah dekat dengan rakyat, tapi justru “menggadai” rakyat. (*)