Buka konten ini
Komunitas Pelukis STW mendatangi dan melukis langsung candi, petirtaan, hingga pertunjukan kesenian di sekitar kawasan Gunung Penanggungan. Mereka berkarya sebanyak mungkin, kelak bakal diseleksi, lalu kelak diharapkan dapat dipamerkan.
CANDI peninggalan zaman Majapahit itu terlihat miring. Sekeliling bangunan di Dusun Bangkal, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, itu disangga bilah bambu agar tidak roboh.
“Sudah bertahun-tahun kondisinya seperti itu, kok tidak selesai-selesai restorasinya,” kata Priyok Dinasti, salah seorang anggota komunitas Pelukis STW, kepada Radar Mojokerto (grup Batam Pos).
Bersama empat kawan sekomunitas, Priyok pun mengabadikan keprihatinan terhadap kondisi candi di kaki Gunung Penanggungan atau Pawitra tersebut ke dalam kanvas pada Rabu (27/5). Mereka melukis dengan gaya masing-masing, yang bermuara pada bahasa visual yang tak sama.
“Melukis cagar budaya itu tantangannya berbeda, beda waktu, kondisinya berbeda pula,” kata Fathur Rodjib alias Mbah Rodjib, pendiri komunitas Pelukis STW.
STW adalah singkatan bebas dari Setengah Tuwek alias setengah tua, merujuk kepada usia kelima anggotanya yang sudah tidak muda tapi juga belum terlalu sepuh. Selain Rodjib dan Priyok ada pula Aries Dadoel, Rahmat Widadi serta Karyono. Mere-ka berasal dari Kabupaten dan Kota Mojokerto serta Kabupaten Pasuruan.
Sejak dibentuk pada awal tahun ini, komunitas tersebut sudah menjajaki puluhan lokasi di area sekitar gunung setinggi 1.653 mdpl tersebut. Seperti Candi Bangkal, Candi Jedong, Petirtaan Jolotundo, serta area pertanian di Desa Seloliman, semuanya di Kabupaten Mojokerto. Juga, dam peninggalan Belanda di Kabupaten Pasuruan dan sejumlah lokasi lain.
Dalam bahasa Jawa Kuna, Pawitra nama lama Penanggungan berarti keramat, suci, atau kesucian. Lebih dari 100 bangunan purbakala telah ditemukan di sekujur gunung yang wilayahnya secara administratif masuk Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan itu.
Salah satunya Petirtaan Jolotundo di Desa Seloliman, Trawas, Kabupaten Mojokerto. Kompleks petirtaan ini dibangun Isyana Tunggawijaya, putri Mpu Sindok, raja Kerajaan Medang, bersama sang suami dari Bali, Sri Lokapala.
Wilayah sekitaran Penanggungan menjadi pilihan objek berkesenian Pelukis STW karena dianggap memiliki ekspresi kehidupan dan kebudayaan yang kaya dan majemuk. Mulai situs cagar budaya, sumber daya alam lokal, hingga pertunjukan kesenian budaya setempat.
Dengan cara melukis on the spot (OTS/di tempat), mereka di antaranya mengabadikan candi, petilasan, situs, area pertanian, sumber air, dan bantengan. Bagi Pelukis STW, selain tujuan berkesenian, itu dimaksudkan untuk pendokumentasian.
Tiap pelukis di Pelukis STW memiliki gaya masing-masing. Mulai dekoratif, realis, abstrak, hingga ekspresionis. Biasanya mereka menghabiskan seharian di lokasi OTS. Lukisan ada yang langsung jadi di tempat, ada pula yang disempurnakan di rumah.
Tiap kali akan melukis di salah satu spot, para anggota Pelukis STW berangkat secara swadaya. Bertemu di lokasi lalu melukis bersama.
Karya yang tercipta bakal dikumpulkan. “Tentu, harapan kami nantinya bisa dipamerkan, kami akan diskusikan lalu seleksi,” kata Rodjib.
Rodjib sendiri sudah melahirkan puluhan goresan tangan terkait aktivitas kehidupan di kaki Pawitra. “Tanggal 18 Juni nanti saya pameran di Sangkring Art, hasil dari melukis di kaki Penanggungan,” tandasnya.
Priyok mengaku tertarik bergabung Pelukis STW karena memiliki banyak kesamaan dengan anggota lain. “Penanggungan ini memiliki magnet dan posisi strategis, baik dari kehidupan masyarakat, tinggalan sejarah, potensi alam, hingga sosial budayanya,” ucap pelukis beraliran abstrak itu.
Dari satu objek, dia dan keempat kawan sekomunitasnya bisa bercerita lewat goresan di kanvas dari sudut yang berbeda-beda. Mulai sisi spiritualitas, kesejarahan, hingga isu lingkungan. Pelukis STW membuka diri kepada siapa saja yang tertarik bergabung, asal punya prinsip sama: tidak sekadar mengejar seni rupa kekinian atau semata-mata ketenaran.
“Idealisme kami adalah ingin mengangkat kearifan lokal yang ada di kaki Penanggungan,” jelas Rodjib. (***)
Laporan: Fendy Hermansyah
Editor: RYAN AGUNG