Buka konten ini
NONGSA (BP) – Sepanjang Januari hingga April 2025, Kepolisian Daerah Kepulauan Riau (Polda Kepri) menangani 55 laporan kasus kekerasan terhadap anak.
Dari jumlah tersebut, kasus persetubuhan anak menjadi yang paling dominan dengan 28 laporan, diikuti kekerasan fisik atau psikis dan pencabulan masing-masing 13 laporan, serta satu kasus aborsi.
Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Kepri, AKBP Andika Aer, menyebut tingginya angka tersebut menunjukkan bahwa Kepri masih rawan terhadap kekerasan terhadap anak. Sepanjang 2024, Polda Kepri mencatat sebanyak 242 kasus serupa.
“Untuk Januari hingga April 2025, ada 55 perkara atau laporan. Perbandingan dengan 2024 secara detail masih dalam proses penghitungan,” ujar Andika.
Dari 28 laporan persetubuhan anak, sebanyak 10 kasus masih dalam tahap penyelidikan, 16 kasus sudah masuk tahap penyidikan, dan dua kasus dinyatakan lengkap (P21) oleh kejaksaan. Untuk kasus pencabulan, terdapat lima kasus dalam penyelidikan, tujuh dalam penyidikan, dan satu sudah P21.
Sementara itu, kasus kekerasan fisik atau psikis terdiri atas 11 yang masih diselidiki, satu kasus dalam penyidikan, dan satu kasus dihentikan. Adapun, satu kasus aborsi saat ini sedang dalam proses penyidikan.
Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Kepri, Iptu Yanti, menyampaikan bahwa mayoritas korban kekerasan seksual merupakan anak-anak yang kehilangan perhatian dari keluarga, terutama figur ayah dan ibu. Ketidakpedulian orang tua menyebabkan anak-anak mencari kasih sayang di luar rumah dan akhirnya dimanfaatkan.
“Banyak anak menjadi korban karena tidak mendapatkan kasih sayang yang semestinya. Mereka mencari sosok itu di luar, dan akhirnya dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab,” jelas Yanti.
Ia juga menyoroti peran lingkungan pergaulan dan faktor ekonomi sebagai pemicu. Beberapa anak terjebak dalam gaya hidup bebas dan bahkan menganggap hubungan seksual di usia anak sebagai hal yang lumrah.
Kasus persetubuhan anak paling banyak terjadi di wilayah kepulauan seperti Anambas, Lingga, dan Batam. Korban, menurut Yanti, sering kali tidak berani bersuara, bahkan ada yang menjadi korban dari keluarga sendiri.
Minimnya pelaporan serta pengawasan di daerah kepulauan juga menjadi tantangan besar dalam penanganan kasus-kasus kekerasan anak.
Polda Kepri telah menggandeng Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Kepri serta pekerja sosial (pepsos) untuk melakukan asesmen terhadap para korban. Pendampingan diberikan secara menyeluruh, mulai dari aspek hukum hingga psikologis.
“Setiap anak akan didampingi oleh tenaga profesional bersertifikat. Jika ada gangguan kejiwaan, dirujuk ke dokter. Jika butuh pendampingan psikolog, kami tunjukkan petugas khusus,” ujarnya.
Upaya pencegahan juga dilakukan melalui edukasi ke sekolah-sekolah. Dalam kegiatan sosialisasi, kepolisian mengimbau pentingnya pengawasan terhadap anak dan memberikan pemahaman hukum kepada siswa maupun guru.
“Kami rutin sosialisasi ke sekolah. Kami kampanyekan pentingnya menjaga tubuh dan memberikan edukasi hukum, termasuk ‘don’t touch your body’. Sayangnya, masih banyak guru yang belum memahami hukum perlindungan anak,” tegas Yanti.
Ia berharap sinergi antarinstansi serta meningkatnya kesadaran masyarakat dapat memperkuat perlindungan terhadap anak-anak di Kepulauan Riau. (*)
Reporter : Yashinta
Editor : RATNA IRTATIK