Buka konten ini

Headline koran ini, Jawa Pos edisi 3 Juni 2025, harus menjadi atensi semua. Berita berjudul Warga Madura Meninggal di Gurun Arab Saudi itu harus menjadi pelajaran bersama. Seorang warga Madura berinisial SM meninggal akibat mengalami dehidrasi di gurun pasir wilayah Jumum, Makkah. Dia diberitakan mengalami situasi buruk sehingga nyawanya tak terselamatkan akibat haji tidak resmi.
Konjen RI di Jeddah Yusron B. Ambary juga menyampaikan bahwa SM dan dua temannya yang berinisial J dan S mencoba memasuki Kota Makkah secara ilegal pada musim haji 1446 H/2025 M ini. Bahkan, tercatat, telah dua kali upaya haji ilegal itu dilakukan. Upaya pertama melalui jalur darat. Namun, langkah itu digagalkan aparat keamanan Arab Saudi. Mereka lalu dipaksa balik ke Jeddah. Upaya kedua melalui jalur gurun pasir nonjalur utama darat.
Upaya kedua itulah yang mengakibatkan dia meninggal. Sederhana sekali penjelasannya. Dia kehabisan energi. Tubuhnya mengalami dehidrasi. Akibatnya, cairan yang dibutuhkan tubuh tak lagi bisa diisi dan dipenuhi kembali. Tubuh pun kolaps. Saat lama tak tertolong, akibat paling tragisnya adalah kehilangan nyawa.
Visa Haji
Situasi buruk yang dihadapi SM itu bermula dari tiadanya izin baginya dari pemerintah Saudi untuk melaksanakan ibadah haji. Visa yang digunakannya, sebagaimana diberitakan Jawa Pos, adalah visa ziarah, bukan visa resmi haji. Visa ziarah memang memungkinkan pemegangnya untuk bisa masuk Saudi berulang-ulang (multi-entry). Namun, dia tak bisa masuk ke Kota Makkah untuk kebutuhan ritual utama haji. Yakni, ritual di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
Mengapa tidak bisa masuk Kota Makkah? Sebab, pada hari-hari menjelang puncak haji di Armuzna, pasti dilakukan pemeriksaan superketat oleh aparat keamanan Saudi. Pemeriksaan dilakukan kepada semua yang berada atau berlalu-lalang di Kota Makkah. Mereka yang tidak memiliki smart card atau kartu nusuk sebagai kartu resmi jemaah haji tak boleh masuk ke Kota Makkah.
Jadi, di semua sudut kota, setiap pribadi yang akan memasuki Kota Makkah akan diperiksa kepemilikannya atas kartu nusuk itu. Saat kartu sakti resmi haji tersebut tidak di tangan, tak akan ada izin untuk meneruskan perjalanan masuk ke Kota Makkah. Pasti akan dipaksa kembali ke kota asal di sekitar Kota Makkah, baik di Madinah maupun Jeddah. Nah, bagi mereka yang sudah berada di Kota Makkah, tetapi tak bisa menunjukkan kartu nusuk, dipasti mereka bakal ’’diangkut’’ ke luar Kota Makkah.
Catatan pengalaman saya sebagai anggota tim monitoring dan evaluasi haji 1445 H/2024 M yang memantau perjalanan jemaah haji Indonesia di Saudi tahun lalu, ada data yang menarik untuk menjadi pelajaran. Yakni, jangan pernah berpikir untuk bisa masuk Kota Makkah jika datang tidak dengan visa resmi haji. Akibatnya sangat serius. Saat tetap memaksakan diri untuk bisa masuk ke Kota Makkah untuk ritual puncak haji Armuzna, sedangkan tidak punya kartu nusuk sebagai pertanda kepemilikan visa resmi haji, pasti langkah yang ditempuh melalui jalur ilegal.
Jalur Gurun
Mengapa tidak disarankan menempuh jalur ilegal itu? Pertama, jalur tersebut pasti melalui perjalanan gurun. Biasanya dilakukan lewat tengah malam. Bisa mendekati Kota Makkah saat waktu sudah bergeser dari gelapnya. Kepentingannya agar bisa aman dari pemantauan dan pemeriksaan aparat keamanan Saudi. Namun, perjalanan hingga sampai lewat tengah membutuhkan waktu dan kekuatan fisik yang luar biasa prima. Jika fisik drop, akibat paling buruk bisa menimpa. Yakni, kematian.
Kedua, jalur ilegal dengan rute perjalanan gurun pasti akan memaksa orang yang menempuhnya untuk mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Angkanya minimal 750 riyal untuk satu perjalanan. Itu pun dengan tingkat risiko tinggi karena tidak ada jaminan. Sederhana sekali alasannya: jalur tersebut ilegal. Karena itu, kemungkinan munculnya jaringan ilegal layanan transportasi, termasuk dalam kaitannya dengan ibadah haji, sangat besar.
Pemerintah Saudi sejak tahun lalu sangat ketat menerapkan kebijakan smart card atau kartu nusuk. Kepentingannya untuk menjamin kenyamanan dan kekhusyukan jemaah haji resmi dalam melaksanakan ibadah haji. Apalagi, membeludaknya jemaah haji seluruh dunia dan tak bertambahnya area Armuzna, tampaknya, menjadi pertimbangan utama pemerintah Saudi.
Lantaran itulah, pemberlakuan smart card atau kartu nusuk justru ditujukan untuk melindungi seluruh jemaah haji yang datang dengan visa resmi haji. Jadi, kepentingannya adalah untuk kemaslahatan umum. Karena itu, jangan ada lagi haji ilegal. Buang jauh-jauh bahwa visa nonresmi haji bisa menjamin berhaji. Penting menjadikan rumus ini sebagai prinsip dalam kaitannya dengan ibadah haji ke depan. (*)