Buka konten ini
UPAYA mediasi antara karyawan PT Maruwa Indonesia dan pihak likuidator yang dijadwalkan pada Senin (2/6), nyatanya gagal total. Ketidakhadiran likuidator membuat ratusan pekerja kembali harus menelan kekecewaan, menyusul ketidakjelasan nasib mereka sejak penghentian operasional perusahaan pada awal April lalu.
Ketua Komisi IV DPRD Kota Batam, Dandis Rajagukguk, bersama perwakilan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Batam dan pengawas dari Disnaker Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), langsung mendatangi pabrik PT Maruwa di kawasan industri Bintang, Tanjunguncang, Batuaji.
“Kami turun langsung untuk mengecek pelaksanaan mediasi yang direncanakan hari ini. Namun, likuidator tidak hadir, sehingga mediasi batal digelar,” ungkap Dandis.
Ia menegaskan bahwa Komisi IV akan terus mengawal proses ini hingga seluruh hak karyawan terpenuhi. “Kami sudah berkoordinasi dengan pihak Polsek dan Disnaker agar tidak ada pemindahan aset sebelum persoalan ini diselesaikan,” lanjutnya.
Menurut Dandis, nilai aset perusahaan diperkirakan mencapai Rp1,5 miliar.
Susi Juniati, Kepala UPT Pengawasan Disnaker Kepri, menyampaikan bahwa pihaknya masih berada pada tahap awal pengumpulan data. Ia menjelaskan bahwa kewajiban pengawasan terhadap karyawan terbagi menjadi dua: upah menjadi tanggung jawab pengawasan Disnaker Provinsi, sementara pesangon merupakan kewenangan pengawasan Disnaker Batam.
“Hingga kini kami masih kesulitan mengakses informasi karena belum dapat bertemu langsung dengan pihak likuidator yang disebut-sebut berada di Jakarta. Jika tak kunjung ada solusi, kasus ini bisa masuk ke ranah pidana berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja,” kata Susi.
Manajer Production Control PT Maruwa, Aris Sianturi, mengungkapkan bahwa dua likuidator yang ditunjuk perusahaan, Nico Lambert dan Salmon, tidak memberikan kepastian apapun.
“Mereka bilang komunikasi dengan pihak Jepang sangat sulit. Jadi, sampai sekarang tidak ada kejelasan apa-apa,” ujarnya.
Sejak operasional dihentikan, ratusan karyawan belum menerima gaji, pesangon, maupun hak normatif lainnya. Bahkan, sejumlah petinggi perusahaan dikabarkan menghilang. Aris menyebut bahwa Presiden Direktur PT Maruwa, Hirabayashi, masih berada di Batam, namun tidak pernah terlihat sejak 23 Mei.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) beberapa hari lalu, Komisi IV DPRD Batam menyimpulkan bahwa penutupan PT Maruwa bukan disebabkan kebangkrutan, melainkan akibat akuisisi sepihak yang hanya menyasar cabang perusahaan di Malaysia. Cabang Malaysia telah dijual kepada investor asal Hong Kong, sementara cabang Batam ditinggalkan tanpa kepastian.
Sebelumnya, komisaris perusahaan sempat menjanjikan kelanjutan operasional dengan tim manajemen baru. Namun, suplai material dari Malaysia terputus, dan seluruh aktivitas produksi di Batam lumpuh.
“Kami masih punya proyek yang belum selesai, tetapi semuanya terhenti karena proses produksi sangat bergantung pada suplai dari Malaysia,” jelas Aris.
Para karyawan menuntut pembayaran hak-hak mereka yang diperkirakan mencapai Rp14 miliar. Namun, pihak perusahaan hanya mengakui kewajiban sebesar Rp12 miliar, dan menyebut aset yang tersedia hanya senilai Rp2 miliar.
“Kami tidak terima. Nilai hak kami berdasarkan perhitungan sesuai undang-undang,” ujar Nita, salah seorang karyawan.
Selain itu, karyawan juga melaporkan tunggakan iuran BPJS dan mencurigai adanya pemindahan material ke Jepang. “Kami menduga perusahaan masih beroperasi di luar negeri, tetapi menutup operasi di Batam begitu saja,” kata salah satu pekerja yang enggan disebut namanya.
Desakan agar pemerintah bersikap lebih tegas terus disuarakan. Para pekerja berharap ada keterlibatan langsung dari komisaris dan direksi dalam proses mediasi, bukan hanya likuidator yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan.
PT Maruwa Indonesia bergerak di bidang manufaktur Flexible Printed Circuit (FPC) dan telah lama beroperasi di Batam. Namun, sejak 9 April 2025, seluruh aktivitas pabrik terhenti tanpa pemberitahuan resmi.
“Kami ditinggalkan begitu saja. Ini bukan hanya persoalan bisnis, tapi juga persoalan kemanusiaan,” tutup Aris dengan nada kecewa.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak likuidator maupun manajemen pusat PT Maruwa. Komisi IV DPRD Batam berencana memanggil kembali seluruh pihak terkait untuk menjadwalkan ulang mediasi dan memastikan penegakan hak-hak karyawan tidak diabaikan. (***)
Reporter : Eusebius Sara
Editor : RATNA IRTATIK