Buka konten ini

Kepala UPT Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang
Di tengah gemuruh peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2025, realitas bangsa Indonesia justru memperlihatkan kondisi dan kontradiksi yang menyedihkan. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila sebagai ideologi dan cita-cita bangsa telah terabaikan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi pemimpin dan teladan.
Melalui media berita dan media sosial, kita masih terus-menerus disuguhi berita pejabat korup yang terjerat kasus korupsi berjemaah tanpa rasa malu dan bersalah. Para politikus busuk sibuk pencitraan tanpa peduli bagaimana menyerap aspirasi masyarakat dan memperjuangkannya.
Masih banyak oknum aparat penegak hukum, alih-alih bersikap netral dan adil, yang justru menunjukkan kebanggaannya menjadi alat kekuasaan dan anjing penjaga modal. Praktik mafia hukum yang transaksional menjadikan keadilan hanya komoditas belaka, menambah keyakinan masyarakat kecil bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Di tingkat akar rumput, aksi premanisme masih marak sebagai solusi menyelesaikan konflik. Sementara para pengusaha rakus terus mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memedulikan kerusakan lingkungan dan kesejahteraan sosial sekitar.
Kondisi dan realitas itu telah menambah deretan luka dalam wajah demokrasi kita dan menciptakan keputusasaan kolektif. Kepercayaan publik terhadap institusi negara makin lama kian tipis. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa mengalami degradasi makna.
Hal itu terjadi karena Pancasila telah disalahgunakan oleh orang-orang yang paling lantang menggaungkan kata-kata Pancasila, tetapi menyalahgunakan kekuasaan.
Akhirnya, istilah ’’Pancasila’’ mengalami makna peyoratif. Pancasila tidak lagi dimaknai sebagai nilai-nilai luhur, tetapi hanya sebagai hiasan retoris dalam pidato dan baliho. Pancasila hanya dijadikan tameng oleh pejabat korup untuk menjaga kekuasaan yang menguntungkan diri dan kelompoknya.
Etika Berbangsa
Pancasila bukanlah panasea, obat atau solusi dari semua kompleksitas permasalahan bangsa. Pancasila juga bukan sekadar dokumen formal dan teks simbolis, apalagi slogan kosong.
Pancasila merupakan prinsip dasar yang berisi sistem nilai dan etika yang seharusnya menjadi rujukan setiap anak bangsa, terutama para pemimpinnya, dalam bersikap dan bertindak. Lima sila bukanlah jargon kosong yang muncul tiba-tiba menjelang kemerdekaan Indonesia, tetapi berisi prinsip-prinsip moral yang digali dari kearifan bumi Nusantara oleh para tokoh bangsa sejak awal pergerakan Indonesia.
Nilai ketuhanan mengajarkan bahwa kehidupan berbangsa harus dijalankan dengan semangat tanggung jawab spiritual dan pengorbanan serta menjauhi keserakahan. Rasa kemanusiaan menolak segala bentuk penindasan dan diskriminasi serta memperlakukan semua orang secara rata dan beradab.
Persatuan Indonesia menuntut kita bahwa kepentingan bangsa harus berada di atas kepentingan pribadi dan golongan. Musyawarah harus melandasi demokrasi kita agar kita tidak terjebak dalam politik elektoral yang transaksional dan mengakibatkan polarisasi sosial. Keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat Indonesia haruslah menjadi landasan utama setiap pemimpin dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
Semua prinsip dan dasar etika tersebut, jika diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan, akan membentuk tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, bermartabat, serta beradab.
Namun, semua nilai itu akan kehilangan daya dan makna jika hanya berhenti di pidato-pidato formal kenegaraan, forum-forum seminar, pengajaran-pengajaran kelas, dan sosialisasi-sosialisasi normatif tanpa mampu diinternalisasikan dalam sanubari semua elemen masyarakat.
Refleksi Nasional
Peringatan Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni bukan sekadar seremoni tahunan atau ritual kenegaraan yang bersifat simbolis. Ia adalah momen penting untuk menengok kembali fondasi bangsa sekaligus menjadi ruang bersama bagi seluruh rakyat Indonesia untuk merenung, berkontemplasi, dan bertanya: Ke mana arah perjalanan bangsa ini? Seberapa jauh keadilan sosial telah dirasakan oleh seluruh rakyat secara merata tanpa terkecuali? Apakah nilai-nilai Pancasila sungguh menjiwai setiap keputusan dan kebijakan pemimpin bangsa atau justru hanya menjadi tameng retoris di tengah praktik kekuasaan yang manipulatif?
Pertanyaan-pertanyaan reflektif itu penting kita ajukan bersama karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang sempurna, melainkan bangsa yang memiliki keberanian untuk terus-menerus mengoreksi diri. Refleksi nasional ini adalah panggilan untuk kembali ke akar nilai yang telah menyatukan bangsa ini sejak awal berdiri, yakni Pancasila.
Momentum ini menjadi penanda bahwa membumikan Pancasila adalah tugas kolektif, bukan sekadar tanggung jawab negara, melainkan seluruh komponen bangsa: pemimpin, pejabat, akademisi, tokoh agama, aparat negara, pemuda, dan semua rakyat. Jika refleksi ini benar-benar dihayati dan diwujudkan dalam tindakan nyata, api Pancasila akan terus menyala, menerangi jalan Indonesia menuju masa depan yang lebih baik, adil, berdaulat, dan bermartabat. (*)