Buka konten ini
DUNIA industri di Kota Batam menghadapi ancaman serius menyusul lonjakan drastis harga gas bumi yang mulai berlaku sejak Mei 2025. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam, Rafky Rasid, menyuarakan kekhawatiran para pelaku industri terhadap dampak langsung kenaikan harga gas terhadap biaya produksi.
“Saat ini, gas industri—khususnya gas pipa yang digunakan perusahaan-perusahaan di Batam—mengalami kenaikan signifikan. Dari sebelumnya 8 dolar AS (USD) per MMBTU (Million Metric British Thermal Unit) menjadi USD16,8. Artinya naik lebih dari 100 persen,” ujar Rafky kepada Batam Pos, Jumat (31/5).
Menurut Rafky, lonjakan ini sangat memberatkan dunia usaha karena akan mengerek beban produksi secara signifikan. Jika dibiarkan, ia khawatir sejumlah sektor industri bisa kolaps.
“Kita sudah rapat dengan pihak PGN (Perusahaan Gas Negara) Batam, bahkan langsung dengan manajemen PGN wilayah Sumatra. Mereka menyampaikan bahwa kenaikan ini terjadi karena pasokan gas dari sumur-sumur di Sumatra mulai habis,” jelasnya.
Akibat berkurangnya pasokan gas domestik, gas pipa kini diprioritaskan untuk sektor-sektor strategis seperti pembangkit listrik PLN dan industri prioritas lainnya. Sementara untuk industri umum, PGN menyiasati kekurangan pasokan dengan membeli gas dalam bentuk LNG (liquefied natural gas atau gas cair) dari Indonesia tengah dan timur, yang kemudian disalurkan kembali melalui pipa ke kawasan industri Batam.
“Namun harga LNG mengikuti pasar internasional. Modal belinya saja sudah USD13 hingga USD14 per MMBTU. Jadi, saat dijual ke industri bisa tembus USD16 lebih,” tambah Rafky.
Kondisi ini, lanjutnya, tak hanya terjadi di Batam tetapi juga di kawasan industri lain seperti Lampung, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.
Apindo Batam pun telah berkoordinasi dengan Apindo pusat untuk mencari jalan keluar. Salah satu opsi yang diusulkan adalah pemanfaatan gas dari blok Natuna untuk memenuhi kebutuhan industri domestik, termasuk Batam.
“Selama ini gas Natuna justru diekspor ke Singapura, hanya lewat Batam tanpa dimanfaatkan. Kita ingin agar gas itu dipakai untuk industri dalam negeri,” tegasnya.
Menurut Rafky, kesepakatan awal antara pemerintah dan sejumlah pihak terkait agar gas Natuna dialirkan ke Sumatra sudah ditandatangani. Namun proses teknisnya belum berjalan optimal.
“Kami mendesak agar proses ini dipercepat. Jangan ditunda lagi. Industri sudah dalam kondisi kritis, bukan hanya di Batam, tapi juga di pusat-pusat industri lainnya,” ujarnya.
Selain gas industri, Rafky juga menyoroti dampak kenaikan harga gas untuk pembangkit listrik PLN. Harga gas untuk PLN naik dari USD5,9 menjadi USD7 per MMBTU, dan turut berdampak pada tarif fleksibel yang dibebankan PLN kepada pelanggan industri.
“Kalau ini terus dibiarkan, pelaku usaha akan semakin terbebani. Kita berharap pemerintah pusat segera bertindak. Harapannya, harga gas bisa kembali normal dengan menambah pasokan dari Natuna yang cadangannya masih melimpah,” tutup Rafky.
Pelaku Industri: Bisa-Bisa Kami Shut Down, dan Picu Gelombang PHK
Sementara itu, Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Batam-Karimun, Adhy Prasetyo Wibowo, mengungkapkan bahwa kawasan industri dengan pembangkit listrik mandiri atau KI-BUPTL saat ini terpaksa membeli gas dengan harga sangat tinggi.
Dari sebelumnya flat USD7,3 per MMBTU, kini harus dibaur (blending) dengan LNG seharga USD16,7 per MMBTU—dan angka ini akan ditinjau untuk naik kembali setiap enam bulan.
”Dampaknya luar biasa. Biaya pokok produksi listrik melonjak sekitar 40 hingga 50 persen. Dan sampai saat ini kami belum bisa menaikkan tarif listrik atau sewa kepada para tenant,” kata Adhy, Jumat (30/5).
Ia menekankan, banyak perusahaan tenant di Batam yang memiliki fasilitas produksi juga di negara lain seperti Johor dan Vietnam. Jika biaya produksi di Batam melesat, maka relokasi adalah opsi logis.
”Mereka bisa saja menurunkan kapasitas produksi, bahkan menutup pabrik di Batam dan pindah ke lokasi dengan ongkos produksi lebih rendah,” ucapnya.
Adhy menyesalkan ironi di balik krisis ini. ”Indonesia itu produsen gas alam terbesar ke-11 di dunia. Tapi ironisnya, industri dalam negeri justru tak kebagian pasokan dengan harga yang layak. Sementara pasokan ke luar negeri lancar tanpa hambatan,” ujar Adhi.
Dalam konteks kompetisi global, kawasan industri Batam semakin terjepit. Malaysia dan Singapura telah menyepakati penerapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Johor-Singapura sebagai magnet baru bagi investasi.
”Kalau infrastruktur dasar seperti listrik yang stabil saja tidak bisa kami pastikan, bagaimana bisa bersaing dengan mereka? Ini bukan hanya soal investor pindah, tapi ancaman perlambatan ekonomi dan gelombang PHK juga nyata di depan mata,” ucanya. (***)
Reporter : ARJUNA – FISKA JUANDA
Editor : RYAN AGUNG