Buka konten ini
BEIJING (BP) – Negara-negara miskin di dunia tengah menghadapi tekanan fiskal yang sangat besar akibat lonjakan pembayaran utang ke Tiongkok. Laporan terbaru dari Institut Lowy Australia menyebutkan bahwa 75 negara miskin akan membayar utang keTiongkok mencapai USD 22 miliar atau lebih dari Rp358 triliun (kurs USD 1 = Rp16.278). Jumlah itu merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah pinjaman negara-negara berkembang kepada Negeri Tirai Bambu.
Data itu sekaligus menunjukkan pergeseran besar dalam hubungan keuangan antara Tiongkok dan negara-negara berkembang. Jika sebelumnya Tiongkok dikenal sebagai penyedia pembiayaan dalam skala besar lewat program Belt and Road Initiative (BRI). Kini, peran Tiongkok bergeser menjadi penagih utama utang luar negeri.
“Negara-negara berkembang sedang bergulat dengan gelombang besar pembayaran utang dan biaya bunga ke Tiongkok,” kata Riley Duke, peneliti Institut Lowy, seperti dilansir dari AFP, Selasa (27/5).
Bukan Lagi sebagai Bankir
Menurut Duke, saat ini Tiongkok akan lebih banyak menjadi penagih utang ketimbang bankir bagi negara-negara berkembang. Lowy menggunakan data dari Bank Dunia untuk menganalisis kewajiban pembayaran negara-negara berkembang terhadap Tiongkok.
Lembaga tersebut menyoroti bahwa puncak pinjaman Tiongkok terjadi pada dekade 2010-an. Yaitu saat Beijing mengucurkan dana besar untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur strategis mulai dari pelabuhan, jalan tol, hingga rel kereta api di kawasan Afrika, Asia Selatan, hingga Pasifik.
Namun, tren tersebut kini berbalik. Pinjaman baru dari Tiongkok mengalami penurunan drastis. Di sisi lain, jumlah pembayaran utang yang jatuh tempo terus meningkat. “Posisi pinjaman neto Tiongkok telah berubah dari penyedia pembiayaan bersih menjadi penguras bersih dengan pembayaran kembali sekarang melebihi pencairan pinjaman,” jelas Duke.
Anggaran Publik Terdampak
Dampak dari tekanan utang ini mulai terasa pada anggaran publik negara-negara miskin. Laporan Lowy menyebutkan bahwa pembayaran utang yang membengkak mulai menggerus alokasi untuk sektor-sektor vital seperti kesehatan, pendidikan, dan penanganan perubahan iklim. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan meluasnya krisis sosial dan pembangunan yang terhambat di negara-negara terdampak.
Selain sisi ekonomi, laporan Lowy juga menyoroti dimensi geopolitik dari hubungan utang ini. Tiongkok diduga dapat menggunakan ketergantungan finansial negara peminjam sebagai alat untuk memperluas pengaruh diplomatik dan strategis. Utamanya di tengah menurunnya bantuan luar negeri dari negara-negara barat seperti Amerika Serikat. (***)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALIH ADI SAPUTRO