Buka konten ini
BATAM (BP) – Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Batam menyatakan akan terus mengawal dan memediasi perselisihan antara manajemen PT Maruwa Indonesia dan para karyawannya. Perusahaan yang bergerak di bidang Flexible Printed Circuit (FPC) itu menghentikan seluruh operasionalnya sejak awal April 2025 tanpa kejelasan pembayaran hak-hak pekerja.
Kepala Disnaker Batam, Rudi Sakyakirti, menegaskan pihaknya berkomitmen memastikan seluruh hak karyawan terpenuhi. “Kita upayakan agar hak-hak karyawan tetap dipenuhi. Proses mediasi masih terus berjalan dan akan kami kawal,” ujarnya, Selasa (27/5).
Rudi menyebut mediasi lanjutan akan digelar pada 2 Juni mendatang. Mediasi akan melibatkan semua pihak terkait untuk mencari solusi terbaik dari konflik berkepanjangan ini.
Konflik memuncak pada Jumat malam (23/5), saat keributan terjadi di kawasan industri Bintang, Tanjunguncang, Batam. Ratusan karyawan marah karena pihak komisaris yang sebelumnya berjanji mencicil tunggakan gaji, justru datang bersama pengacara dan menyampaikan rencana likuidasi perusahaan.
Perwakilan HRD PT Maruwa, Sumanti, membenarkan belum ada kepastian mengenai pembayaran hak-hak karyawan. “Itu bukan mediasi. Karyawan datang menagih janji, bukan untuk bicara soal likuidasi,” ujarnya. Ia menegaskan HRD tidak berpihak ke manajemen maupun pekerja, dan berharap kedua pihak mendapat keadilan.
Sebelumnya, manajemen berjanji akan membayar sebagian gaji yang tertunggak. Namun pada pertemuan Jumat lalu, mereka justru menyampaikan rencana likuidasi tanpa menyebut kepastian pembayaran hak-hak karyawan.
Hal ini memicu kemarahan pekerja yang merasa dikhianati. Apalagi, menurut Sumanti, total tunggakan gaji dan hak-hak pekerja diperkirakan mencapai Rp7 miliar, sementara nilai aset perusahaan hanya sekitar Rp2 miliar.
“Kondisinya buntu. Mereka bilang tidak punya dana lagi,” jelasnya.
Sebanyak 205 karyawan terdampak dari penghentian operasional ini. Mereka terdiri dari 49 pekerja tetap dan 156 kontrak. Para karyawan mengaku diliburkan sejak 9 April 2025 tanpa kejelasan, bahkan pengumuman penutupan hanya disampaikan secara lisan.
Karyawan juga menolak tawaran pesangon yang hanya 0,5 kali masa kerja, jauh di bawah ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Mereka juga menyoroti adanya tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan, serta dugaan pemindahan bahan produksi ke Jepang.
“Kami menduga perusahaan masih beroperasi secara diam-diam di luar negeri. Sementara hak-hak kami di sini diabaikan,” kata salah satu pekerja.
Rudi menegaskan bahwa hak-hak pekerja tetap wajib dibayarkan, apa pun kondisi keuangan perusahaan. “Soal hak karyawan itu tidak bisa ditawar. Kita ingin dengar lagi penjelasan dari manajemen, tapi prinsipnya, hak-hak itu harus dibayar,” tegasnya. (*)
Reporter : Eusebius Sara
Editor : RYAN AGUNG