Buka konten ini

Dosen Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fisipol, Universitas Negeri Surabaya
Fenomena barak militer bagi ’’anak muda bermasalah’’ yang digagas Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, kembali menggugah diskursus pendidikan di Indonesia. Gagasan itu menyoroti etika, kedisiplinan, dan tanggung jawab generasi muda yang dinilai kian pudar.
Meski rencana tersebut menuai kritik karena dianggap intimidatif, melanggar hak asasi, dan dapat menimbulkan stigma ’’nakal’’, pendekatan itu patut dipandang sebagai refleksi atas belum berhasilnya sistem pendidikan kita dalam membentuk karakter warga negara muda (young citizen) pada era disrupsi.
Model barak militer yang digagas KDM bukanlah hal baru. Pola itu, yang bisa disebut military-edu, sejatinya telah diterapkan dalam sistem pendidikan taruna atau pondok pesantren tertentu yang menjunjung tinggi kedisiplinan. Dalam konteks degradasi moral generasi muda hari ini, pendekatan semacam itu bisa menjadi katalis perubahan selama diterapkan dengan batas psikologis yang jelas dan berlandas pada prinsip pedagogis.
Tanpa itu, pendekatan tersebut justru bisa menghadirkan ’’jagoan-jagoan’’ baru di tengah masyarakat. Di sinilah pentingnya merespons fenomena tersebut melalui revitalisasi peran pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn).
Pendidikan Karakter
Di jenjang pendidikan tinggi, kita mengenal mata kuliah wajib seperti pendidikan Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan. Sementara di sekolah dikenal mata pelajaran pendidikan Pancasila yang lebih familier dengan PPKn. Secara teoritis, PPKn bertujuan membentuk peserta didik yang cinta tanah air, sadar hukum, demokratis, serta menghormati keberagaman (Winataputra, 2015). Selain itu, PPKn secara konsep berperan dalam membentuk warga negara yang cerdas, berkarakter, dan bertanggung jawab sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan nasional berdasar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Karena itu, PPKn diharapkan bisa berkontribusi secara nyata dalam membentuk warga negara yang cerdas, berkarakter, serta bertanggung jawab sebagai bagian dari upaya pembangunan bangsa yang berkelanjutan yang didapatkan dari proses pendidikan formal.
Sebagaimana tujuannya, PPKn adalah pendidikan karakter bangsa yang idealnya menjadi jalan dalam menyelesaikan persoalan anak-anak muda bermasalah di Indonesia. Namun, kenyataannya, hal tersebut masih jauh dari kata ideal.
Revitalisasi PPKn
Sudah saatnya kita mereposisi PPKn agar tidak hanya menyasar aspek kognitif semata. PPKn harus menyentuh ranah afektif dan psikomotorik agar peserta didik tidak hanya memahami konsep kewarganegaraan secara teoretis, tetapi juga mengembangkan sikap serta keterampilan kewarganegaraan.
Branson (1998) menyebutkan, kompetensi kewarganegaraan (civic competence) mencakup tiga elemen utama: civic knowledge (pengetahuan), civic disposition (sikap), dan civic skill (keterampilan). Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu untuk membentuk smart and good citizen.
Pendekatan kontekstual dan berbasis keterampilan menjadi kunci dalam revitalisasi tersebut. Turner dkk (dalam Wahab & Sapriya, 2011) menyarankan beragam pendekatan pembelajaran yang dapat menstimulasi civic disposition dan civic skill.
Di antaranya, (1) audio visual material, memutar film dokumenter perjuangan bangsa untuk menghadirkan realitas sosial-politik ke ruang kelas. (2) Case studies, menganalisis keberagaman budaya untuk menumbuhkan toleransi. (3) Community resource persons, menghadirkan praktisi hukum atau aktivis sosial. (4) Cooperative learning, menumbuhkan kolaborasi dan empati sebagai basis kehidupan bernegara.
Selanjutnya, (5) debates polls, mengasah keterampilan argumentasi dan menghargai perbedaan pendapat. (6) Interviews and surveys, membekali keterampilan menggali data dari masyarakat. (7) Mock trials and role plays, mengenalkan peran sebagai warga negara aktif dan pejabat publik. (8) Writing letters to public officials, melatih menyuarakan aspirasi secara demokratis.
Memperkuat Karakter
Pendekatan-pendekatan itu menjadikan pembelajaran PPKn lebih praksis dan menyenangkan. Selain menghubungkan teori dengan realitas, pendekatan tersebut memperkuat karakter kewarganegaraan peserta didik. Penelitian Joyce & Weill (1986), Lickona (1992), Winataputra (1998; 2001; 2015), serta Marzano (2007) menunjukkan, pembelajaran kontekstual mampu mengembangkan karakter warga negara yang cerdas dan partisipatif melalui instructional effects dan nurturant effects.
Revitalisasi PPKn sangat penting untuk membentuk generasi muda yang aktif, bertanggung jawab, dan siap berkontribusi di dalam masyarakat. Dengan mengintegrasikan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik melalui pembelajaran kontekstual, peserta didik diharapkan tidak hanya paham hak dan kewajiban, tetapi juga mampu mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tindakan nyata.
Pemerintah, lembaga pendidikan, serta masyarakat harus bersinergi membangun ekosistem pendidikan PPKn yang aplikatif, kontekstual, serta adaptif. Idealnya, generasi muda yang tangguh, kritis, dan berkarakter kuat pada era mutakhir ini seyogianya dihasilkan melalui proses pendidikan formal yang humanistik, bukan dari barak-barak militer. (*)