Buka konten ini

Ekonom Tim Perumusan KEKDA Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Riau
Beberapa waktu lalu, Wakil Wali Kota Batam, Li Claudia Chandra, menyuarakan pentingnya mendorong potensi ekonomi biru atau maritim di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Bahkan beberapa media cetak dan online regional menjadikan ini sebagai headline pemberitaan. Bagi saya, pernyataan tersebut patut diapresiasi, karena sudah saatnya Kepri tidak lagi hanya menjadi simpul industri, tetapi juga menjadi poros ekonomi laut Indonesia.
Dengan luas wilayah laut lebih dari 96%, berada pada segitiga emas Asia Tenggara, Kepri adalah provinsi yang secara geografis dan ekonomi ditakdirkan untuk menjadi kekuatan maritim. Namun, sayangnya potensi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan. Mari kita bermanifestasi.
Mencari Sumber Pertumbuhan Baru
Kalau ditanya, apa yang membuat Kepri (setidaknya Batam) ini “hidup”? Apa yang membuat ribuan jobseeker masih berbondong-bondong bermigrasi ke Batam menguji peruntungan, terutama setelah musim mudik lebaran? Salah satu jawaban yang saya yakini benar adalah ingin menjadi pegawai PT atau buruh pabrik. Tidak salah memang, karena salah satu branding Batam yang diketahui orang (atau saya) adalah sebagai daerah industri.
Hal ini tergambar dari ketergantungan Kepri pada sektor industri pengolahan yang sudah berlangsung lama. Rilis teranyar dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Kepri triwulan 1 tahun 2025 tumbuh 5,16% (year on year) dan 42,51% adalah sumbangan dari industri pengolahan.
Data dan angka telah membuktikan kontribusi industri pengolahan terhadap PDRB Kepri cenderung stabil di kisaran 38%–42%. Namun, di sisi lain pertumbuhannya tidak konsisten dan sangat rentan terhadap guncangan eksternal.
Salah satu penjelasan utama dari volatilitas ini adalah karakteristik industri di Batam yang didominasi oleh industri maklon (subcontract manufacturing) dan industri orientasi ekspor (export-oriented manufacturing). Industri maklon dan orientasi ekspor sangat bergantung pada permintaan luar negeri, terutama dari negara-negara seperti Singapura, Tiongkok, dan negara-negara ASEAN. Ketika permintaan global menurun maka produksi di Batam ikut terkontraksi.
Pengalaman sejarah juga telah membuktikan bahwa saat krisis ekonomi, pandemi, atau gangguan rantai pasok global, industri ini sangat terdampak.
Sebagai contoh, fluktuasi tajam terlihat pada beberapa kuartal di tahun 2020 dan 2023. Pada momen pandemi Covid-19 tahun 2020, industri pengolahan jatuh drastis akibat terganggunya logistik dan minimnya permintaan global. Hal serupa terjadi pada 2023, ketika kombinasi antara perlambatan ekonomi global, penyesuaian kebijakan suku bunga bank-bank sentral di dunia, dan pelemahan permintaan elektronik membuat pertumbuhan industri pengolahan anjlok.
Di sisi lain, fluktuasi ini juga mencerminkan ketergantungan Kepri terhadap industri besar-berskala ekspor. Ketika sebagian besar pabrik di Batam hanya menjadi “titik produksi”, maka Kepri sangat sedikit memiliki kendali atas dinamika permintaan dan produksi. Artinya, ketika sektor industri maklon terguncang, tidak ada penyangga lain yang bisa menjaga pertumbuhan tetap stabil. Hal ini menggarisbawahi pentingnya mencarikan sumber pertumbuhan ekonomi baru di Kepri.
Industri berbasis maritim, baik perikanan, kelautan maupun pariwisata Bahari, bisa menjawab tantangan tersebut. Terlebih Kepri sudah punya modal yang terbentang luas di depan mata.
Memanfaatkan Potensi Kelautan dan Perikanan
Kepri memiliki banyak alasan untuk serius menatap laut. Dengan luas wilayah lautan lebih dari 96%, menjadikan Kepri sebagai daerah dengan kandungan potensi kelautan dan perikanan yang teramat besar.
Pertama, Bappenas mencatat Kepri sebagai provinsi dengan nilai tertinggi dalam Blue Economy Index (BEI) atau Indeks Ekonomi Biru. BEI mencerminkan kemampuan daerah dalam mengelola, memanfaatkan dan menjaga sumber daya laut dan pesisirnya secara berkelanjutan dan berkeadilan. Pada tahun 2022, nilai BEI Kepri mencapai 82,77, jauh meninggalkan provinsi lain yang hanya pada kisaran nilai 20-an. Angka ini jelas menyuratkan bahwa Kepri sangat mumpungi dalam mengelola, memanfaatkan dan menjaga sumber daya laut, meninggalkan provinsi lain.
Kedua, potensi kelautan dan perikanan Kepri juga tercermin dari tingginya jumlah produksi perikanan tangkap laut. Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa seluruh wilayah laut Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 yang mencakup Laut Natuna Utara dan sekitarnya. Berdasarkan Kepmen KP No. 19/2022, wilayah ini memiliki potensi perikanan tangkap hingga 1,3 juta ton per tahun atau terbesar ketiga di Indonesia.
Namun sayangnya, tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan di Kepri masih jauh dari optimal. Bahkan, statistik Kementerian Kelautan dan perikanan menyebut komoditas unggulan seperti lobster dan kepiting sudah masuk kategori over-exploited atau perlu di “rem” agar terpenuhi asas keberlanjutannya. Lebih parahnya lagi, data Statistik Pelabuhan Perikanan BPS (2020) menyebutkan hanya dua pelabuhan perikanan yang tersedia di Kepri, dan keduanya belum dilengkapi dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang memadai. Akibatnya, banyak hasil tangkapan laut yang dijual dalam bentuk mentah dengan nilai tambah rendah. Ini tercermin dari kontribusi ekspor ikan dan udang dari Kepri yang hanya sekitar 0,3% dari total nasional, atau sebesar USD 39,77 juta pada 2022.
Lebih jauh, kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB masih perlu didorong. Sejauh ini sektor ini (bersama dengan pertanian dan kehutanan) masih menyumbang sekitar 2-4% saja dari ekonomi Kepri, jauh tertinggal dibanding Industri yang menyumbang 40%. Sumbangan sektor perikanan ini terlihat ironis ketika disandingkan dengan jumlah wilayah perairan yang amat luas.
Mendorong Potensi Wisata Bahari
Potensi ekonomi maritim Kepri tak hanya pada perikanan, tapi juga wisata bahari. Namun, kita harus berani mengakui bahwa saat ini wisata bahari Kepri masih berada di bawah bayang-bayang popularitas Bali dan Labuan Bajo. Tapi tidak apa, jangan berkecil hati. Jadikan ini sebagai pelecut semangat untuk mengejar ketertinggalan.
Pada dasarnya, Kepri telah mengantongi modal bentang alam nan indah. BPS tahun 2023 mencatat Kepri punya lebih dari 2.408 pulau dan garis pantai sepanjang 2.664 km. Landsacape ini menawarkan kekayaan geografis dan ekologi laut yang sangat berharga. Sebut misalnya peluang ekowisata laut di Natuna dan Anambas yang menawarkan kekayaan biodiversitas, dan spot diving kelas dunia.
Tanah melayu ini sebenarnya telah menjadi magnet wisata mancanegara, khususnya dari Singapura dan Malaysia. Data dari BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2024, Kepri mencatatkan kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 1,15 juta orang, tertinggi ketiga di Indonesia setelah Bali dan Jakarta.
Sekarang kalau kita berkaca dan disuruh merenung, “apa yang membuat potensi wisata bahari Kepri belum bisa optimal, terlebih kalau dibandingkan dengan Bali atau Labuan Bajo?”. Mungkin jawabannya akan beragam, mulai dari akses destinasi yang susah dijangkau, minimnya marine icon, kurangnya fasilitas pendukung wisata bahari, minimnya kapal wisata berstandar pariwisata, kurangnya promosi hingga isu klasik, SDM pariwisata bahari yang belum mumpuni. Nah, ini yang perlu dicermati bersama pemangku kepentingan.
Menjawab Panggilan Laut Kepri
Pemerintah telah menunjukkan komitmen dalam mendorong ekonomi maritim. Komitmen ini tercermin dari visi dan misi Kepala Daerah untuk menjadikan Kepri Permata Biru 2045. Hal ini juga senada dengan spirit Presiden untuk mendorong sektor maritim tumbuh lebih masif. Kementerian PPN/Bappenas bersama Pemprov Kepri juga telah menyusun road map atau peta jalan transformasi ekonomi bertajuk ”Merajut Permata Biru Ekonomi Gerbang Utara Indonesia.
Untuk menjawab panggilan potensi laut Kepri, ada beberapa rekomendasi yang bisa ditempuh. Pertama, pembangunan dan modernisasi infrastruktur pelabuhan perikanan mutlak dilakukan, termasuk memperbanyak Tempat Pelelangan Ikan (TPI), cold storage, dan unit pengolahan hasil laut.
Dengan infrastruktur yang memadai, nilai tambah komoditas laut dapat ditingkatkan dan hasil tangkapan nelayan tidak lagi dijual dalam bentuk mentah atau ke luar negeri tanpa melewati rantai ekonomi lokal.
Kedua, memperluas budidaya laut. Berdasarkan data Bappenas, Kepri memiliki potensi lahan budidaya laut lebih dari 455.000 hektare, namun baru sebagian kecil yang termanfaatkan. Komoditas seperti rumput laut, tiram mutiara, kepiting bakau, dan ikan kerapu sangat potensial untuk dibudidayakan secara berkelanjutan dan bernilai ekspor tinggi. Untuk mencapai target tersebut, tentu diperlukan dukungan teknologi, pembiayaan, serta pelatihan bagi nelayan agar bisa bertransformasi menjadi pelaku usaha maritim modern.
Ketiga, potensi wisata bahari Kepri harus dikelola secara serius, mulai dari promosi internasional, peningkatan akses transportasi, hingga pembangunan destinasi yang ramah lingkungan. Geopark Natuna, terumbu karang Anambas, hingga jalur selam bangkai kapal bisa menjadi magnet wisata jika dikemas dengan baik dan dikelola bersama masyarakat lokal.
Dari ketiga rekomendasi tersebut, ada satu benang merah yang menjadi prasyarat utama, yaitu dukungan anggara. Terlebih di tengah arahan efisiensi saat ini, “biaya” menjadi tantangan tersendiri. Itulah mengapa perlu menggenjot investasi untuk pembiayaan itu semua.
Meng-echo apa yang disampaikan oleh Wakil Wali Kota Batam, mutlak harus ada kemudahan pelayanan perizinan agar investasi, terutama untuk sektor industri maritim dan pariwisata bahari, bisa meroket. Sembari perlu dilakukan pembenahan dan penataan infrastruktur yang sudah eksis.
Terakhir, sinergi adalah kunci. Ekonomi biru bukan hanya tentang menangkap ikan atau menarik turis, tapi tentang mengelola laut dengan bijak agar bisa menjadi sumber kehidupan jangka panjang dan menjadi penyangga ekonomi Kepri. (*)