Buka konten ini
BATAM (BP) – Kota Batam tengah menghadapi ancaman serius di sektor pendidikan. Dinas Pendidikan (Disdik) mencatat, saat ini Batam kekurangan sekitar 700 guru, dan jumlah tersebut diperkirakan meningkat menjadi 1.400 hingga 1.500 guru pada 2030 jika tidak ada langkah konkret yang diambil.
Kepala Disdik Batam, Tri Wahyu Rubianto, mengatakan kekurangan paling banyak terjadi di jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menurutnya, kondisi ini akan memburuk dalam lima tahun ke depan karena banyak guru memasuki masa
pensiun, wafat, atau berhenti karena alasan lainnya.
“Untuk saat ini saja Batam kekurangan 700 guru,” ujar Tri, Selasa (20/5). “Dan lima tahun ke depan, jumlahnya bisa mencapai 1.500 jika tidak ada rekrutmen baru.”
Tri menjelaskan, pihaknya tidak bisa serta-merta mengisi kekosongan guru karena terbentur aturan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Aturan ini melarang pengangkatan tenaga honorer hingga lima tahun ke depan, termasuk tenaga pengajar.
“Larangan itu membuat kami tidak bisa melakukan rekrutmen, padahal setiap bulan jumlah guru aktif terus menurun,” katanya.
Tri menyebutkan, Dinas Pendidikan saat ini tengah melakukan koordinasi dengan sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Kementerian PAN-RB. Tujuannya untuk mencari celah hukum yang memungkinkan dilakukan rekrutmen terbatas, terutama bagi guru-guru yang sebelumnya dibiayai melalui dana BOS dan kini telah berhenti mengajar.
“Kami sedang telaah apakah ada pengecualian di dalam PP Nomor 8 Tahun 2024. Kalau memungkinkan, kita bisa menahan laju kekurangan guru ini,” ucapnya.
Selain itu, ia berharap pemerintah pusat memberi ruang kebijakan yang lebih fleksibel untuk daerah-daerah strategis seperti Batam, mengingat peran vital kota ini sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah barat Indonesia.
“Kami sadar aturan nasional harus ditaati. Tapi kondisi riil di lapangan juga harus dilihat secara objektif. Jangan sampai kualitas pendidikan menurun hanya karena guru tidak tersedia,” tegasnya.
Tak hanya soal jumlah, ketimpangan distribusi guru antara jenjang SD dan SMP juga menjadi tantangan. Keduanya sama-sama kekurangan tenaga pengajar, namun kebutuhan mendesak sering kali tidak seimbang dengan ketersediaan.
Tri juga mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya tengah menyusun kurikulum baru yang lebih adaptif dan fleksibel, menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan masyarakat Batam. Proses penyusunan dilakukan bersama para pemangku kepentingan, agar kebijakan yang diambil tidak melenceng dari kondisi lapangan.
“Kami menyadari kebutuhan masyarakat berubah sangat cepat. Karena itu, pendekatan pendidikan juga harus bisa mengikuti. Kalau salah menetapkan program, anak-anak kita yang dirugikan,” tutupnya. (***)