Buka konten ini

Peneliti Pusat Riset Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (UI)
Setiap 16 Mei dunia memperingati International Day of Living Together in Peace, momen reflektif untuk menghidupkan kembali semangat toleransi, rekonsiliasi, dan keberagaman. Penetapan hari itu oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2017 merupakan tindak lanjut deklarasi dan dekade budaya damai yang diinisiasi sejak awal abad ke-21.
Dalam konteks global kontemporer, konflik bersenjata dan kekerasan politik menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Wilayah-wilayah seperti Palestina, Ukraina, dan Sudan merepresentasikan dinamika konflik yang kompleks, yang tidak hanya menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar, tetapi juga merusak tatanan sosial serta kemanusiaan secara luas.
Peningkatan Konflik
Berdasar data Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED) per Desember 2024, tercatat dalam lima tahun terakhir, insiden konflik meningkat hampir dua kali lipat. Dari 104.371 peristiwa pada 2020 menjadi hampir 200 ribu pada 2024. Peningkatan itu mencerminkan memburuknya stabilitas global dan melemahnya mekanisme penyelesaian damai di berbagai kawasan.
Diperkirakan lebih dari 233 ribu kematian telah terjadi hanya dalam kurun waktu setahun terakhir. Sebagian besar akibat eskalasi tiga konflik besar —Ukraina, Gaza, dan Myanmar— yang diperburuk oleh kekerasan berkepanjangan di negara-negara dengan intensitas konflik tinggi seperti Sudan, Meksiko, Yaman, serta kawasan Sahel. Lonjakan jumlah korban jiwa, meluasnya pengungsian, serta meningkatnya keterlibatan aktor bersenjata non-negara menunjukkan fragmentasi keamanan global yang makin dalam.
Konflik bersenjata di berbagai belahan dunia terus menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar dan penderitaan luas bagi rakyat sipil. Di Palestina, perang di Gaza hingga 7 Mei 2025 telah menewaskan hampir 55 ribu orang yang mayoritas merupakan warga Palestina. Sementara di Ukraina, perang dengan Rusia sejak 2014 telah mengakibatkan sekitar satu juta korban jiwa, mencakup konflik di Krimea, Donbas, dan invasi besar-besaran sejak 2022. Situasi serupa terjadi di Sudan. Konflik internal antara militer dan pasukan paramiliter telah menewaskan puluhan ribu orang dan memicu krisis pengungsian besar-besaran.
Budaya Damai
Konflik dan perang tersebut bukan hanya tragedi kemanusiaan, melainkan juga bukti nyata bahwa hidup bersama dalam damai bukanlah kondisi yang bisa dianggap remeh. Ia adalah proyek jangka panjang yang menuntut komitmen kolektif dan kesadaran personal. Perdamaian tidak lahir dari kekuatan senjata, tetapi dari kemampuan untuk menerima perbedaan, memaafkan masa lalu, dan membangun masa depan bersama.
Dalam konteks ini, PBB dan UNESCO menyerukan pentingnya membangun budaya damai mulai dari tingkat individu. Mengasihi tanpa mengendalikan, menghargai perbedaan, tidak terpancing amarah, hingga menerima orang lain apa adanya merupakan langkah-langkah kecil yang berdampak besar jika dilakukan secara luas. Budaya damai juga perlu didukung oleh kebijakan publik yang inklusif dan sistem pendidikan yang menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini.
Seperti kata Paulo Coelho dalam The Alchemist: “Jika kamu menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta akan berkonspirasi membantumu untuk mencapainya”. Kalimat itu mengandung makna mendalam bahwa apabila umat manusia benar-benar menginginkan kedamaian, upaya kolektif dan sinergi global bisa diwujudkan, asalkan ada niat yang tulus dan tekad yang kuat.
Kesetaraan Sosial
Beberapa negara seperti Islandia, Selandia Baru, dan Portugal menunjukkan, indeks perdamaian tinggi tidak hanya terkait dengan aspek keamanan, tetapi juga kesetaraan sosial, kepercayaan antarwarga, dan keberfungsian institusi. Itu menjadi pelajaran berharga bahwa perdamaian dapat dibangun dan dipertahankan jika ada kehendak politik serta dukungan sosial yang kuat.
Indeks Perdamaian Global 2024 menunjukkan bahwa negara-negara paling damai di dunia adalah Islandia, Irlandia, Austria, Selandia Baru, Singapura, Swiss, Portugal, Denmark, Slovenia, Malaysia, dan Kanada. Sebaliknya, negara-negara yang paling tidak damai adalah Yaman, Sudan, Sudan Selatan, Afghanistan, Ukraina, Kongo, Rusia, Suriah, Israel, dan Mali.
Negara-negara paling damai (seperti Islandia dan Irlandia) terus mempertahankan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri mereka. Sebaliknya, negara-negara seperti Yaman dan Ukraina menghadapi tantangan besar akibat perang, kekerasan politik, serta instabilitas di tengah ketidakpastian geopolitik dunia.
Dalam momen International Day of Living Together in Peace, ada baiknya kita memulai perdamaian tersebut dari diri kita masing-masing. Kemudian, kita aplikasikan perdamaian itu dalam berbagai ranah sosial di mana kita beraktivitas –hingga ke level negara, bahkan relasi antarnegara. Perdamaian memang sering disuarakan. Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana mengaplikasikannya dalam aktivitas kita. (*)