Buka konten ini

Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya
Perkembangan teknologi digital dalam dua dekade terakhir telah mengubah cara manusia berinteraksi, memperoleh informasi, hingga mengekspresikan diri. Dunia yang makin terhubung secara virtual menawarkan berbagai kemudahan dan efisiensi. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul tantangan baru dalam aspek kesehatan jiwa, khususnya pada generasi muda.
Mengacu laporan Jawa Pos (grup Batam Pos) (2/5), kasus depresi di Surabaya meningkat dalam sebulan terakhir. RSUD Bhakti Dharma Husada (BDH) Surabaya melaporkan, mayoritas pasien baru berusia di bawah 35 tahun. Sedikitnya 30 pasien dalam sebulan. Awalnya, mereka mengeluh sakit fisik seperti gerd dan insomnia. Setelah ditelusuri lebih dalam, gejalanya ternyata berakar dari tekanan emosional dan depresi.
Tak tertinggal, cyberbullying, ujaran kebencian, dan sikap agresif impulsif juga ramai di media sosial dalam dekade ini. Fenomena senggol bacok, asal bacok, atau istilah ’’gen sakit mental’’ seolah tak asing lagi terjadi di berbagai belahan wilayah Indonesia.
Teknologi digital telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Para generasi muda sejak bangun tidur langsung mengecek notifikasi, makan sambil menggulir layar, dan tidur pun ditemani cahaya biru ponsel. Dunia terasa dalam genggaman. Namun, apakah jiwa kita juga tetap dalam kendali?
Menurut laporan World Health Organization (WHO) 2022, kasus gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan stres meningkat drastis dalam satu dekade terakhir. Ironisnya, sebagian besar terjadi pada generasi muda yang tumbuh pada era digital.
Distorsi Realitas
Media sosial sebagai produk unggulan era digital telah mengubah cara individu membangun identitas dan relasi sosial. Namun, platform itu layaknya cermin yang memantulkan luka karena menghadirkan tekanan psikologis yang signifikan. Penelitian oleh Twenge dan Campbell (2018) menunjukkan korelasi antara durasi penggunaan media sosial dan meningkatnya tingkat kesepian, depresi, serta penurunan harga diri.
Media sosial dirancang untuk menyambungkan orang dengan dunia. Namun kini, banyak orang yang justru terperangkap dalam perang citra, membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang tampak sempurna. Budaya highlight reel yang hanya menampilkan kebahagiaan, keberhasilan, dan keindahan hidup membuat banyak orang merasa hidupnya tidak cukup berharga.
Representasi kehidupan yang sering kali tidak realistis di media sosial menciptakan ilusi kesempurnaan dan memperkuat rasa ketidakberdayaan, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Akibatnya, banyak yang mengalami FOMO (fear of missing out), body dysmorphia, dan insecure karena standar kecantikan yang tidak realistis. Tidak sedikit remaja yang mengalami gangguan citra diri hanya karena merasa tidak cukup ’’baik’’ di dunia maya.
Koneksi Emosional Semu
Walaupun teknologi telah memperluas cakupan konektivitas sosial, banyak interaksi digital yang bersifat dangkal dan minim kualitas. Studi University of Pennsylvania (2019) menunjukkan, penggunaan media sosial yang berlebihan berkorelasi dengan penurunan interaksi sosial tatap muka, yang secara signifikan memengaruhi kesehatan mental.
Konsekuensi hilangnya keintiman dalam hubungan manusia adalah munculnya fenomena ’’kesepian digital’’, suatu kondisi di mana individu merasa kesepian walaupun secara kuantitas memiliki banyak teman atau pengikut di media sosial. Hal itu memperlihatkan bahwa hubungan interpersonal yang sehat tidak bisa digantikan oleh sekadar koneksi digital.
Di satu sisi, teknologi membuat komunikasi lebih cepat dan mudah. Namun, komunikasi instan sering kali kehilangan makna. Percakapan mendalam tergantikan oleh emoji. Sapaan hangat diganti oleh pesan singkat. Kita bisa tahu apa yang sedang dilakukan teman lewat story, tetapi tidak tahu apa yang sedang dirasakan mereka sebenarnya.
Harus Diimbangi
Menghadapi era digital tidak berarti menolak kemajuan, tetapi menuntut adaptasi yang sehat. Budaya produktivitas tinggi yang ditopang teknologi harus disertai budaya perawatan diri (self-care) dan keberanian untuk menjalin koneksi nyata yang bermakna.
Perlu disadari, teknologi bukan penyebab utama krisis jiwa. Melainkan, cara manusia menggunakannyalah yang menentukan dampaknya. Penggunaan gawai secara berlebihan tanpa regulasi waktu, minimnya literasi digital, serta budaya kerja yang mendorong konektivitas tanpa batas turut memperparah beban psikologis masyarakat. Teknologi harus menjadi alat bantu, bukan tuan atas hidup kita.
Di sisi lain, teknologi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat intervensi kesehatan mental. Misalnya, munculnya aplikasi konseling daring, terapi berbasis kognitif digital (e-therapy), dan komunitas pendukung berbasis media sosial yang dapat menjadi alternatif layanan psikologis yang mudah diakses.
Penting untuk mengedukasi masyarakat, terutama anak muda, tentang literasi digital yang sehat. Bagaimana menggunakan media sosial dengan bijak, bagaimana membatasi waktu layar, dan yang terpenting, bagaimana merawat diri secara mental dan emosional.
Krisis jiwa di era digital bukan akhir segalanya. Ini adalah pengingat bagi kita semua untuk kembali menyentuh makna kehidupan. Untuk memperlambat langkah, mengurangi distraksi, dan kembali hadir bukan hanya secara fisik, melainkan juga secara emosional.
Keluarga, institusi pendidikan, serta masyarakat punya peran penting dalam mengatasi krisis jiwa itu. Kita perlu lebih banyak ruang aman untuk saling mendengarkan, berbagi rasa, dan saling menguatkan. Pendidikan tentang kesehatan jiwa harus dimulai sejak dini. Dukungan terhadap individu yang mengalami gangguan mental juga harus bebas dari stigma. (*)