Buka konten ini
Tema Hardiknas 2025, “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”, merupakan ajakan untuk melibatkan seluruh elemen masyarakat secara aktif dalam menciptakan pendidikan yang berkualitas dan merata.
Tema itu mengajak pemangku kepentingan pendidikan untuk menyinergikan strategi, dengan memahami bahwa pendidikan adalah kerja bersama yang memerlukan kolaborasi erat antara orang tua, guru, sekolah, masyarakat, dunia usaha, media hingga tokoh adat dan agama.
Partisipasi semesta yang kita pahami adalah gotong-royong lintas sektor untuk memastikan setiap anak bangsa memperoleh haknya atas pendidikan yang layak, merata, dan bermutu.
Sebagai lembaga pemegang amanat konstitusi dalam fungsi legislasi, DPR –khususnya Komisi X– pun ikut bergotong-royong melalui tugas dan fungsinya.
Revisi UU Sisdiknas dengan pendekatan kodifikasi yang tengah diupayakan, bukan sekadar revisi teknis. Melainkan proses integrasi dan penyelarasan berbagai regulasi yang tersebar dalam beberapa undang-undang pendidikan.
Evaluasi terhadap undang-undang (UU) lain terkait, dilakukan agar regulasi pendidikan, tidak tumpang tindih dan semakin kontekstual terhadap zaman.
Salah satu misi besar dalam revisi itu adalah menjawab tantangan masa depan, khususnya dampak kemajuan teknologi dan disrupsi digital yang telah dan akan terus mengubah wajah dunia pendidikan.
Kita melihat transformasi besar: cara belajar yang bergeser ke platform daring, profesi-profesi baru yang belum pernah ada sebelumnya, dan bahkan peran guru yang ikut berubah karena kehadiran AI serta teknologi pembelajaran adaptif.
Namun, kita harus jujur bahwa selama ini, produk legislasi kita sering tertinggal dari perkembangan zaman. Ketika teknologi sudah jauh melesat, regulasi masih terseok menyusul di belakang. Akibatnya, banyak tantangan dari ketimpangan akses hingga kehilangan pekerjaan karena otomatisasi yang tidak diantisipasi secara optimal oleh kebijakan pendidikan.
Ketertinggalan Legislasi
Pertama, proses legislasi yang panjang dan birokratis. Penyusunan undang-undang memerlukan koordinasi lintas sektor, waktu yang tidak singkat, dan konsolidasi berbagai kepentingan. Sering dalam proses itu, perkembangan teknologi sudah berubah jauh ketika undang-undang baru disahkan.
Penyusunan UU tidak bisa dilakukan secara sepihak. Dia memerlukan harmonisasi antar-kementerian, konsultasi publik, pembahasan lintas fraksi, hingga harmonisasi dengan norma-norma hukum terkait lainnya.
Setiap tahap memerlukan waktu dan ruang dialog yang memadai. Di sisi lain, teknologi tidak menunggu. Sehingga, ketika sebuah regulasi akhirnya disahkan, sering substansi di dalamnya sudah tidak sepenuhnya menjawab tantangan terbaru.
Menjawab hal itu, revisi RUU Sisdiknas perlu fleksibel dan terbuka terhadap inovasi. Kita bisa mendorong model regulasi berbasis prinsip yang memberi ruang bagi inovasi, bukan hanya memerinci batasan.
Kedua, minimnya pemanfaatan data ilmiah dan teknologi foresight membuat kita kesulitan membayangkan masa depan secara akurat.
Legislasi yang bersifat reaktif biasanya baru merespons persoalan setelah masalah muncul di permukaan, bukan berdasarkan deteksi dini atas tren atau potensi risiko.
Maka, pendekatan berbasis teknologi seperti big data analytics, machine learning, dan foresight studies, amat diperlukan untuk membantu merumuskan kebijakan dengan landasan yang lebih presisi dan futuristik.
Mekanisme perumusan undang-undang dengan memanfaatkan potensi itu diharapkan bisa mengidentifikasi masalah secara akurat, dan merumuskan solusi yang tepat sasaran.
Ketiga, pelibatan pemangku kepentingan teknologi dan industri, sebagai pihak yang paling memahami dinamika perubahan teknologi, amat diperlukan.
Keluhan bahwa lulusan pendidikan yang mengalami ketidaksesuaian kompetensi (skills mismatch) yang memperlebar kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, minimal perlu dijawab melalui kemitraan erat antara pembuat kebijakan, akademisi, dan pelaku industri untuk memastikan bahwa regulasi pendidikan benar-benar adaptif dan relevan terhadap tuntutan zaman.
Keempat, ketertinggalan regulasi dibandingkan realitas di lapangan juga disebabkan oleh konsep regulasi yang sering tidak cukup membumi, yakni tidak berangkat dari pemahaman yang utuh terhadap kondisi riil pendidikan di berbagai wilayah Indonesia.
Regulasi yang dirancang untuk mengantisipasi kemajuan dan disrupsi teknologi, disusun dengan semangat futuristik: mendorong digitalisasi, penggunaan AI, pembelajaran daring, hingga integrasi teknologi dalam kurikulum.
Namun, pada saat yang sama, realitas di lapangan justru masih berkutat pada persoalan mendasar seperti keterbatasan sarana dan prasarana, minimnya anggaran, distribusi guru yang tidak merata, rendahnya kompetensi pendidik, serta kesenjangan kualitas pendidikan antara wilayah perkotaan dan daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Maka, regulasi yang baik harus tidak hanya visioner, tetapi juga realistis dan kontekstual –berakar pada pemetaan masalah faktual dan disusun dengan pendekatan bertahap yang memungkinkan semua daerah bergerak maju sesuai kapasitasnya masing-masing.
Regulasi Lebih Inklusif
Dalam menghadapi dunia pendidikan yang terus berubah akibat kemajuan teknologi dan disrupsi global, pendekatan terhadap regulasi pun perlu mengalami transformasi mendasar.
Regulasi tidak bisa lagi disusun secara tertutup dan reaktif. Melainkan harus bersifat inklusif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan secara aktif dan prediktif, yakni mampu memproyeksikan tantangan serta kebutuhan pendidikan pada masa depan.
Regulasi yang inklusif berarti penyusunan kebijakan tidak hanya melibatkan aktor negara seperti pemerintah dan DPR. Tetapi juga mengikutsertakan kelompok masyarakat yang terdampak langsung oleh kebijakan tersebut.
Inklusivitas itu pula yang memberi arti “partisipasi semesta” yang menjadi tema Hardiknas 2025. Inklusivitas itu mendorong rasa memiliki (sense of ownership) terhadap regulasi, yang pada akhirnya meningkatkan keberhasilan implementasi.
Di sisi lain, regulasi pendidikan yang prediktif sesuai paradigma dalam cara pandang masa depan, diharapkan bisa berfungsi, bukan hanya sebagai penyesuaian terhadap realitas, tetapi sebagai panduan strategis yang membawa arah kemajuan bangsa.
Artinya, undang-undang dan kebijakan turunan tidak boleh terlalu rigid atau bersifat satu ukuran untuk semua (one-size-fits-all).
Diperlukan prinsip dasar yang memberi ruang bagi daerah dan satuan pendidikan, untuk berinovasi sesuai dengan konteks lokal mereka.
Dengan begitu, sistem pendidikan nasional tidak hanya responsif terhadap perubahan. Tetapi juga mampu menjawab tantangan dengan solusi yang relevan, realistis, dan berkelanjutan. (***)
Oleh:
HETIFAH SJAIFUDIAN,
Ketua Komisi X DPR RI, Ketua Panitia Kerja Revisi UU Sisdiknas