Buka konten ini
PENGADILAN Negeri Batam kembali menggelar sidang lanjutan atas perkara dugaan penyalahgunaan barang bukti narkotika jenis sabu yang melibatkan Kepala Satuan Reserse Narkoba (Kasatresnarkoba) Polresta Barelang, sembilan personel lainnya, serta dua warga sipil. Sebanyak 12 terdakwa dihadirkan dalam sidang yang digelar Senin (21/4), dengan agenda pemeriksaan saksi ahli.
Dua saksi ahli dihadirkan dalam persidangan, yakni Muhammad Ariyono Wibowo, anggota Polri yang menjabat sebagai Ps Panit Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Kepri, dan Yusman Johar, dosen Universitas Batam (Uniba) yang dihadirkan sebagai ahli bahasa.
Dalam kesaksiannya, Yusman mengungkap bahwa ia pernah dimintai keterangan oleh penyidik Polda Kepri pada September 2024 terkait interpretasi isi percakapan dalam aplikasi WhatsApp yang berkaitan dengan kasus ini.
“Saya ketika itu memenuhi panggilan penyidik Polda Kepri untuk memberikan keterangan menafsirkan dan menjelaskan isi percakapan dalam WhatsApp yang berkaitan dengan dugaan keterlibatan Satria Nanda dan Azis dalam transaksi narkoba,” ujar Yusman di hadapan majelis hakim.
Ia menambahkan, percakapan tersebut berbentuk cetak (print out) dan telah ditranskrip sebelumnya.
Dalam dokumen itu, ditemukan istilah-istilah yang merujuk pada struktur jabatan dalam kepolisian seperti kanit dan kasub, serta dua nama yang paling sering muncul, yakni Satria dan Azis.
Menurut Yusman, penggunaan istilah jabatan itu menjadi indikator bahwa percakapan mengarah pada konteks kepolisian.
“Kesimpulan saya, berdasarkan penggunaan istilah jabatan tersebut, percakapan ini berkaitan dengan institusi kepolisian. Percakapan itu juga bersifat personal, bukan dalam grup WhatsApp,” katanya.
Meski begitu, ia mengakui adanya ambiguitas dalam isi pesan. Ia kesulitan membedakan apakah isi percakapan membahas urusan pribadi atau pekerjaan.
Namun, Yusman menyebut ada frasa-frasa yang menyinggung soal tagihan uang bernilai puluhan juta rupiah serta permintaan pencarian dana tambahan.
“Sebagai ahli bahasa, saya melihat ada kalimat-kalimat yang tidak umum digunakan dalam percakapan biasa. Dalam surat panggilan saya juga dijelaskan bahwa ini berkaitan dengan kasus narkoba,” jelasnya.
Sementara itu, saksi ahli dari kepolisian, Muhammad Ariyono Wibowo, memberikan keterangan teknis seputar jejak digital dan validitas percakapan yang dijadikan barang bukti. Namun, detail keterangannya belum dipaparkan secara lengkap dalam persidangan hari itu.
Terdakwa Satria Nanda menyatakan keberatan atas kesaksian para ahli. Ia menyebut kesaksian tersebut merugikan dirinya dan keluarganya. Sidang lanjutan dijadwalkan pekan depan, dengan agenda pemeriksaan saksi serta pemaparan alat bukti tambahan oleh jaksa penuntut umum.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan aparat penegak hukum yang semestinya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan narkoba. Masyarakat berharap proses peradilan berjalan transparan dan menegakkan prinsip keadilan tanpa pandang bulu.
Kronologi Kasus
Kasus ini bermula dari informasi terkait rencana penyelundupan 300 kg sabu dari Malaysia yang diterima SI, seorang informan. Namun, rencana itu batal. Lalu, pada Mei 2024, muncul informasi baru mengenai masuknya 100 kg sabu ke Indonesia.
Beberapa terdakwa kemudian menggelar pertemuan di One Spot Coffee, Batam, guna membahas distribusi barang haram tersebut. Awalnya rencana penyelundupan mengalami kendala. Namun, setelah Ditresnarkoba Polda Kepri mengungkap kasus narkoba di Imperium, Batam, dan adanya tekanan dari pimpinan Polresta Barelang untuk segera mengungkap kasus besar, Satria Nanda diduga memerintahkan timnya melanjutkan operasi.
Dalam rapat lanjutan, terdakwa Shigit Sarwo Edhi selaku Kanit memberikan arahan kepada Fadillah dan Rahmadi agar memastikan eksekusi berjalan lancar. Rencana tersebut mencakup pembagian 100 kg sabu: 90 kg digunakan untuk pengungkapan kasus, sedangkan 10 kg diduga disisihkan untuk membayar SI dan keperluan operasional.
Strategi itu kemudian disetujui Satria Nanda, meski awalnya ia menilai skema itu berisiko tinggi.
Pada Juni, beberapa terdakwa menyewa Awang, seorang tekong, untuk mengambil sabu dari Malaysia. Awang diupah Rp20 juta dan berangkat dari Perairan Nongsa menuju Tanjunguban dan Malaysia.
Awang berlayar seorang diri, dikawal oleh para terdakwa (yang merupakan polisi) dengan kapal terpisah. Namun di perbatasan, para terdakwa berhenti, sedangkan Awang melanjutkan hingga masuk ke perairan Malaysia.
Setelah kembali, Awang dikawal menuju Nongsa. Di perairan Nongsa, Awang tetap di atas kapal, sedangkan para terdakwa mengambil dua tas besar dan memasukkannya ke dalam mobil warna silver untuk dibawa ke Satresnarkoba Polresta Barelang.
Di sana, mereka menghitung jumlah sabu dalam dua tas tersebut: 44 bungkus, masing-masing seberat 1 kg. Sembilan bungkus disisihkan dan disimpan terpisah, sementara 35 bungkus (35 kg) dilaporkan untuk diekspos. Hal ini disetujui Kasat yang saat itu berada di Bandara Hang Nadim Batam.
Dalam pertemuan, Kasat bahkan sempat mengucapkan selamat atas keberhasilan tersebut. Para terdakwa lalu menghubungi Poy (DPO) untuk mencarikan orang yang akan membawa sabu ke Jakarta. Poy mengirim tiga orang: Effendi, Nely, dan Ade.
Dua dari mereka merupakan pasangan suami istri dan dijanjikan upah Rp150 juta. Sementara Ade dijanjikan Rp10 juta. Namun, dalam aksi tersebut, para polisi yang sebelumnya menguasai sabu justru melakukan penyergapan terhadap ketiganya di dekat Jembatan Barelang, dengan barang bukti 35 kg sabu.
Tak hanya itu, 9 kg sabu yang disisihkan kemudian dijual, salah satunya kepada Azis, seharga Rp400 juta per kilogram. Namun, dalam perjalanannya, Azis tidak melunasi sisa pembayaran sabu tersebut.
Para terdakwa dijerat dengan Pasal 112 Ayat (2) juncto Pasal 132 juncto Pasal 64 UU Narkotika, atau Pasal 114 Ayat (2) juncto Pasal 132 juncto Pasal 64 UU Narkotika. (***)
Reporter : AZIS MAULANA
Editor : RYAN AGUNG