Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Meski menuai kontroversi, revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) akan tetap disahkan hari ini, Kamis (20/3). Pengesahan digelar dalam sidang paripurna di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.
Sebelumnya, dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I, Selasa petang, semua fraksi di DPR setuju dengan pengesahan RUU TNI. Ada sejumlah poin perubahan yang disahkan. Antara lain terkait perubahan usia pensiun serta penambahan dua tugas operasi militer selain perang (OMSP). Perubahan lain meliputi penambahan tempat jabatan sipil dari 9 menjadi 14 kementerian/lembaga.
Jelang pengesahan RUU TNI, kemarin (19/3) jajaran Komisi I dan Panja RUU TNI DPR bertemu Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta. Mereka menggelar pertemuan secara tertutup hampir dua jam. Sayangnya, usai pertemuan, mereka kompak menolak berbicara detail. “Temen-temen tidak ada jumpa pers. Jadi nunggu besok lah ya. Soalnya kalau saya udah ngomong gitu kan enggak enak lah ya,” ujar Ketua Panja RUU TNI Utut Ardianto.
Namun, dia mengamini bahwa presiden setuju dengan draf RUU tersebut. “Kan semuanya enggak ada masalah,” imbuhnya. Tapi, dia mengklaim, pembicaraan tak melulu soal RUU TNI. “Bukan hanya itu. Beliau bercerita konsep dari beliau,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai RUU TNI tidak dilakukan dengan cara yang baik. Bukan hanya prosesnya yang buru-buru dan tertutup, namun juga dilakukan tanpa evaluasi dan kajian terhadap aspek pertahanan. “Yang terlihat hanyalah penambahan kewenangan dan penguatan institusi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil dan hal-hal di luar aspek pertahanan,” ujarnya dalam konferensi pers kemarin.
UU TNI, lanjut dia, memang sudah berusia 20 tahun dan sepantasnya dievaluasi. Namun, dia melihat, perubahan yang dilakukan justru mundur. Dalam UU TNI yang lama, misalnya, pemberian 10 lembaga nonmiliter yang dapat diisi TNI merupakan norma kompromi sebagai adaptasi pasca-Orde Baru.
Semestinya, dengan demokrasi Indonesia yang kian mapan, jumlah lembaga yang diisi TNI harus berkurang atau bahkan tidak ada. “Yang terjadi justru ditambah,” terangnya.
Tak hanya itu, nuansa penambahan peran TNI juga terlihat dari pasal lainnya. Seperti penambahan usia pensiun hingga perluasan jenis operasi militer selain perang. “Ini upaya untuk mereduksi supremasi sipil. Ini yang kita katakan sebagai kembalinya dwifungsi atau militerisme dalam masyarakat sipil,” ungkapnya. (***)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALIH ADI SAPUTRO