Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Gregorius Ronald Tannur tetap tidak mengakui bahwa dirinya telah menyebabkan kematian Dini Sera Afrianti. Saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (25/2), Ronald mengaku pernah meminta maaf dan mencium kaki ibunda Dini, tapi itu dia lakukan bukan karena pernah melakukan sesuatu kepada kekasihnya tersebut.
Permohonan maaf itu, lanjutnya sebagaimana dilansir Antara kemarin, dilakukan karena merasa bersalah telah merugikan banyak orang. Meski begitu, dia menyampaikan sempat menyiapkan tiket pesawat untuk orangtua dan kakak Dini saat dirinya sedang berada dalam proses hukum di Polrestabes Surabaya.
Ronald menuturkan, saat hari meninggalnya Dini, keduanya sedang dalam keadaan mabuk setelah minum alkohol. ”Jadi, sepertinya Dini meninggal karena asam lambungnya naik setelah minum alkohol itu,” ungkapnya.
Dia juga mengaku tidak mengetahui ada tawaran uang damai dari penasihat hukumnya, Lisa Rachmat, kepada keluarga korban pembunuhan tersebut. Kepada Lisa, dia juga tidak pernah meminta agar bisa diupayakan untuk mendapatkan vonis bebas.
Beban Moral
Kendati demikian, Ronald mengaku merasa bersalah saat jaksa penuntut umum membacakan dakwaan pada persidangan kasus pembunuhan sebelumnya. Rasa bersalah tersebut karena dia merasa telah membuat sedih kedua orangtuanya dan membuat heboh jagat warganet Indonesia.
”Jadi, yang saya rasakan itu beban moral,” tuturnya.
Ronald bersaksi pada sidang tiga hakim nonaktif Pengadilan Negeri Surabaya yang didakwa menerima suap berupa hadiah atau janji sebesar Rp4,67 miliar. Juga, gratifikasi dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi atas pemberian vonis bebas kepada dirinya pada 2024.
Tiga terdakwa tersebut adalah Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul. Secara terperinci, suap yang diduga diterima tiga hakim tersebut meliputi Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura atau Rp3,67 miliar (kurs Rp 11.900).
Uang tunai sebesar 48 ribu dolar Singapura atau Rp571,2 juta diterima Erintuah dari ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, dan Lisa Rachmat (penasihat hukum Ronald Tannur). Kemudian, sebesar 140 ribu dolar Singapura atau Rp1,66 miliar diterima dari Meirizka dan Lisa serta Rp1 miliar dan 120 ribu dolar Singapura atau Rp1,43 miliar dari Meirizka dan Lisa diterima oleh Heru Hanindyo.
Sementara itu, uang tunai sebesar 140 ribu dolar Singapura dibagi-bagi untuk tiga terdakwa, yakni Erintuah sebesar 38 ribu dolar Singapura atau Rp452,2 juta, Mangapul senilai 36 ribu dolar Singapura atau Rp428,4 juta, dan Heru sebanyak 36 ribu dolar Singapura atau Rp428,4 juta. Sisanya sebesar 30 ribu dolar Singapura atau Rp357 juta disimpan oleh Erintuah.
Ketiga terdakwa diduga telah mengetahui bahwa uang yang diberikan oleh Lisa bertujuan menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap Ronald Tannur dari seluruh dakwaan penuntut umum.
Selain suap, ketiga terdakwa juga diduga menerima gratifikasi berupa uang dalam bentuk rupiah dan berbagai mata uang asing, yakni dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, serta riyal Saudi.
Dengan demikian, perbuatan para terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Lisa ke Zarof
Sementara itu, Lisa mengaku memberikan uang Rp6 miliar kepada mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar untuk membantu mengondisikan perkara kliennya di tingkat kasasi. ”Dalam perkara Ronald Tannur, Pak Zarof meminta Rp6 miliar, Rp5 miliar saya serahkan langsung dan Rp1 miliar saya serahkan melalui anak saya,” ujar Lisa saat menjadi saksi dalam sidang kasus yang sama kemarin.
Dia menyebutkan bahwa sebagian dari uang Rp6 miliar yang diserahkan kepada Zarof tersebut merupakan uang honor dari ibunda Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur. Sementara sisanya, dia mengaku menambahkan uang tersebut secara pribadi. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor : YUSUF HIDAYAT