Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Industri tekstil nasional, terutama di sektor hulu, menghadapi tantangan besar akibat perbedaan kepentingan dalam kebijakan impor bahan baku. Khususnya, produksi benang poliester dan serat sintetis. Hal tersebut ditengarai membuat industri lokal sulit menjual produknya di pasar dalam negeri.
Sejatinya, pengusaha mendukung kebijakan antidumping untuk membatasi impor dan mendorong industri lokal berkembang. Namun, ada yang merasa proteksi berlebihan akan menyebabkan kelangkaan bahan baku yang berujung pada lesunya sektor hilir.
Kepala Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio mengatakan, beberapa produsen besar menghentikan produksi poliester dan beralih ke impor bahan baku. Pab-rikan yang sebelumnya beroperasi penuh dalam rantai produksi dari bahan mentah hingga produk jadi, kini memilih menghentikan lini produksi dan memilih impor.
”Industri tidak hanya sulit untuk menjual produk di pasar domestik, tetapi yang terjadi juga pada akhirnya perang di antara sesama para pelaku domestik. Ini terjadi karena kebijakan importasi yang dibiarkan begitu saja,” ujar Andry, Senin (24/2).
Fenomena itu dinilai menimbulkan dilema bagi industri. Karena, impor dibiarkan tanpa proteksi, maka produsen lokal akan semakin terpinggirkan. Namun, jika impor dibatasi terjadi kekurangan bahan baku di dalam negeri sehingga banyak pabrik yang berhenti produksi.
”Untuk mencapai hilirisasi diperlukan sektor hulu yang kuat. Kalau, misalnya sektor hulu tidak kuat, hilirisasinya malah ditopang oleh produk-produk impor. Itu menurut saya bukan mencerminkan ketahanan industri yang diharapkan,” tutur dia.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan bahwa minat investasi asing untuk membangun tiga sampai empat pabrik mono etilen glikol (MEG) di Kalimantan. Pabrik tersebut akan memproduksi benang polyester. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Taufiek Bawazier mengatakan, minat investasi tersebut menjadi bukti optimisme penanaman modal di sektor hulu tekstil. ”Sebagaimana diketahui, MEG merupakan bahan baku polyester yang selama ini kebutuhannya 90 persen diimpor,” bebernya.
Ketua Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menegaskan bahwa laporan pertumbuhan tekstil sebesar 7,43 persen pada kuartal III 2024 tidak menjadi gambaran yang akurat tentang kondisi pertekstilan. Menurut Redma, hal ini dikarenakan besarnya importasi yang tidak tercatat dan tidak dimasukkan dalam perhitungan neraca perdagangan sehingga otomatis dihitung sebagai produk dalam negeri, padahal itu adalah produk impor.
”Itu impor kain dan garmen yang tercatat hanya 50 persennya, seakan neraca kita positif. Padahal, negatifnya sa-ngat besar, tahun ini lebih dari USD 2,5 miliar. Faktanya PHK juga terjadi di mana-mana,” ujar Redma. (***)
Reporter : JP GROUP
Editor : GALIH ADI SAPUTRO