Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Fenomena overthinking atau berpikir negatif berlebihan semakin menjadi perhatian di Indonesia. Studi terbaru yang dilakukan Health Collaborative Center (HCC) mengungkap, setengah dari populasi Indonesia yang diteliti mengalami pola pikir negatif berulang (repetitive negative thinking). Ada kecenderungan khawatir berlebihan terhadap masa depan. Contoh riilnya adalah ramainya tagar #KaburAjaDulu.
Penelitian ini melibatkan 1.061 responden dari 29 provinsi pada Januari hingga Februari tahun ini. Lalu, ditemukan bahwa 50 persen responden mengalami overthinking.
Sementara itu, 30 persen responden mengalami rumination atau berpikir berulang tentang kejadian negatif di masa lalu tanpa solusi. Selain itu, 19 persen responden memiliki pola pikir reflektif yang lebih sehat.
Sebagian besar responden adalah perempuan. Lalu, 90 persen responden berada pada usia produktif, yaitu antara usia 20 hingga 49 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa satu dari dua orang Indonesia saat ini mengalami overthinking.
Peneliti utama HCC Dr Ray Wagiu Basrowi menyatakan bahwa overthinking bukan hanya kebiasaan berpikir negatif.
”Kabur aja dulu merupakan salah satu wujud dari overthinking. Ini harus dicegah. Kami ingin memotret apakah benar Indonesia ini sedang mengalami overthinking,” ungkap Ray.
Penyebab utama overthinking menurut penelitian ini adalah berbagai faktor sosial dan ekonomi. Kenaikan harga bahan pokok, kesulitan mencari pekerjaan, biaya pengobatan yang semakin mahal, serta banyaknya penyakit baru menjadi faktor pemicu utama. Selain itu, informasi politik yang membingungkan dan konflik politik di media turut memperburuk keadaan.
Penelitian ini juga menemukan bahwa fenomena overthinking lebih banyak dialami perempuan dengan risiko dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Sementara itu, anak muda yang tidak bekerja memiliki risiko menga-lami pessimistic fixation terhadap harga bahan pokok, biaya pengobatan, dan kebijakan politik.
”Overthinking ini bisa menular ke komunitas. Semakin sering masyarakat menunjukkan pessimistic fixation, komunitas menjadi lebih apatis dan tidak produktif,” katanya.
Selain itu, overthinking berdampak buruk pada kehidupan sosial dan ekonomi.
Ray mendorong adanya studi lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif. Universitas atau BRIN bisa membuat kajian ini agar memotret lebih luas dan mendapatkan gambaran kondisi masa depan.
Dampak overthinking, jika tidak segera ditangani, bisa lebih jauh mengarah pada kecemasan, depresi, bahkan risiko bunuh diri. Overthinking adalah pintu masuk bagi kecemasan, yang kemudian bisa berlanjut menjadi depresi, self-harm, dan bahkan bunuh diri. Karena itu, penting bagi pemerintah memodifikasi kebijakan politik menjadi lebih humanis dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. ”Komunikasi publik yang lebih humanis harus menjadi kunci mitigasi overthinking.
Pemerintah perlu memastikan bahwa informasi yang disampaikan dapat mengurangi kecemasan dan membantu masyarakat merasa lebih terhubung dengan kebijakan yang diambil,” ucapnya. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor: YUSUF HIDAYAT