Buka konten ini
Sebagai Ibu Kota Kepri, Tanjungpinang memiliki berbagai tradisi, budaya dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu tradisi unik yang masih lestari hingga kini adalah bekarang. Tradisi bekarang merupakan kegiatan menangkap hasil kekayaan laut yang dilakukan secara bersama-sama atau beramai-ramai di perairan atau laut dangkal saat air laut surut.
Bekarang dipercaya telah dilakukan oleh masyarakat Tanjungpinang sejak zaman dahulu. Aktivitas ini biasanya dilakukan bersama-sama, baik laki-laki, perempuan, tua maupun anak muda.
Secara bersama-sama, masyarakat pesisir akan turun ke pesisir dengan peralatan sederhana seperti cangkul kecil, ember, dan jaring untuk mengumpulkan hasil laut.
Selain sebagai aktivitas ekonomi yang membantu memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, bekarang juga menjadi ajang kebersamaan dan mempererat hubungan sosial dan silaturahmi di masyarakat.
Selain menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat pesisir, tradisi ini juga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan ekosistem laut.
Tak hanya itu, tradisi bekarang tidak hanya sebatas mencari sumber makanan atau mengumpulkan hasil tangkapan laut yang kaya, namun juga berkontribusi pada pelestarian ekosistem laut.
Salah seorang warga Tanjungpinang yang cukup sering bekarang yakni Zupri, 35 mengatakan bekarang di saat air laut surut, alat yang dibutuhkan relatif sederhana.
Hanya mengutamakan tangan, menggunakan jaring serta wadah seperti ember sebagai tempat menyimpan hasil tangkapan. Kemudian menggunakan penutup kaki agar tidak terinjak batu karang tajam dan hewan laut yang beracun seperti bulu babi.
Zupri menjelaskan, tempat yang strategis untuk bekarang di Tanjungpinang biasanya di pinggir laut dangkal hingga agak ke tengah laut saat air surut.
”Di Tanjungpinang, biasanya masyarakat memanfaatkan air surut di depan Taman Tugu Pensil Tanjungpinang dan di Tanjung Siambang Dompak,” kata warga Sei Jang Tanjungpinang ini.
Menurut Zupri, hasil tangkapan berbagai hewan laut yang didapatkan dari aktivitas bekarang ini, biasanya dimanfaatkan masyarakat hanya untuk konsumsi pribadi.
”Alhamdulillah, kami kalau dapat (hewan laut) untuk dimasak sendiri saja. Tapi ada juga sebagian masyarakat yang menjual hasil tangkapan dari bekarang,” sebutnya.
Menurut sepengetahuan Zupri, aktivitas bekarang juga berperan penting sebagai sarana dalam mendidik generasi muda yang tinggal di pesisir. Sebagai sarana untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai tradisional yang melekat dalam budaya pesisir.
Selain itu, menurut Zupri, bekarang juga meningkatkan kesadaran menjaga kelestarian lingkungan dan menghormati alam. Sehingga dengan bekarang, anak-anak diajarkan untuk mengenal dan mencintai laut.
Anak-anak juga diajarkan bagaimana cara mengambil hasil laut dengan bijak dan tidak merusak lingkungan, sehingga keberlanjutan sumber daya laut tetap terjaga.
Dengan bekarang, kata Zupri, anak-anak dan remaja tidak hanya memperoleh keterampilan menangkap ikan dan hewan laut lainnya yang melimpah. Namun dapat juga memperdalam ilmu mengenai maritim, kerja keras dan melestarikan alam terutama lautan.
”Kalau hari libur dan pas air laut surut, kami biasanya bawa anak-anak main di tepi laut sambil bekarang nyari kerang atau gonggong,” kata karyawan swasta ini.
Peneliti Sejarah BRIN, Dedi Arman, mengatakan, aktivitas bekarang biasanya dilakukan untuk menangkap ikan, siput gongong, siput hisap, udang, rajungan (ketam) secara bersama-sama oleh masyarakat pesisir di Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan.
Dedi menjelaskan, bekarang saat air laut surut juga merupakan tradisi, warisan budaya dan kearifan lokal yang telah ada sejak zaman dahulu. Tentunya tradisi ini harus dijaga dan dilestarikan karena memiliki andil untuk menjaga lingkungan dan ekosistem laut.
Aktivitas bekarang yang dilakukan secara alami dan tradisional tidak menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap populasi kehidupan laut. Masyarakat pesisir tentunya memiliki kearifan lokal dalam memilih hasil laut yang boleh diambil atau dibiarkan agar tetap berkembang biak.
Selanjutnya, saat bekarang, masyarakat juga sering menemukan sampah plastik atau limbah lainnya yang terbawa arus. Secara tidak langsung, masyarakat yang bekarang, turut berperan dalam membersihkan pantai dan laut dari pencemaran.
”Aktivitas bekarang ini tidak hanya sekadar mencari hewan laut, namun juga menjadi identitas sebagai masyarakat pesisir yang hidup berdampingan dengan alam terutama lautan,” jelas Dedi, Rabu (19/2).
Dedi menambahkan, seiring perkembangan zaman dan modernisasi, tradisi bekarang menghadapi berbagai tantangan. Perubahan gaya hidup dan peningkatan aktivitas industri, dapat mengancam kelestarian tradisi ini.
”Ya perlu upaya juga untuk mempertahankan tradisi bekarang ini sebagai bagian dari sejarah dan budaya sekaligus menjaga kelestarian lingkungan,” terangnya.
Tradisi bekarang di Tanjungpinang bukan sekadar aktivitas mencari kekayaan hasil laut saja, namun menjadi bentuk nyata dari kearifan lokal dalam menjaga lingkungan dan ekosistem laut.
”Dengan mempertahankan tradisi ini, masyarakat tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga ikut berkontribusi dalam menjaga kelestarian laut untuk generasi mendatang,” tutup Dedi. (***)
Reporter : YUSNADI NAZAR
Editor : ANDRIANI SUSILAWATI