Buka konten ini
BATAM (BP) – Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam, Rafki Rasyid, menegaskan bahwa Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) tidak bisa ditetapkan tanpa ada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Hal ini, menurutnya, telah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2023.
“Sikap Apindo sudah jelas. Selagi tidak ada kesepakatan, UMSK itu sebenarnya tidak bisa ditetapkan. Itu sudah sangat jelas di Permenaker Nomor 16 Tahun 2023,” ujar Rafki, Jumat (21/2).
Ia menjelaskan bahwa dalam regulasi tersebut, UMSK bersifat opsional atau sunah, yang berarti dapat diberlakukan atau tidak, tergantung pada kesepakatan. Berbeda dengan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) yang bersifat wajib dan harus diterapkan.
Dalam rapat terakhir Dewan Pengupahan Kota Batam, Rafki menyebutkan bahwa tidak ada kesepakatan yang tercapai terkait penetapan UMSK 2024. Hal ini membuat Wali Kota Batam dan Gubernur Kepulauan Riau tidak merekomendasikan upah sektoral Kota Batam tersebut.
“Karena tidak ada kesepakatan, mungkin Pak Gubernur dan Pak Wali Kota Batam tidak mau merekomendasikan. Mereka tentu tak mau menandatangani karena ini sudah menjadi ranah pemerintah,” katanya.
Menurutnya, tanpa ada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, pemerintah daerah tidak bisa serta-merta menetapkan UMSK. Hal ini sesuai dengan regulasi yang ada.
Kondisi ini membuat kepastian UMSK di Batam masih kabur. Di satu sisi, serikat pekerja berharap ada penetapan upah sektoral yang lebih tinggi dari Upah Minimum Kota (UMK) Batam 2024. Namun, di sisi lain, pengusaha tetap berpegang pada aturan bahwa UMSK hanya bisa diberlakukan jika ada kesepakatan bersama.
Sejumlah pekerja dari sektor tertentu, seperti industri elektronik dan galangan kapal, sebelumnya berharap ada kenaikan UMSK mengingat tingginya biaya hidup di Batam.
Namun, tanpa ada kesepakatan, upah sektoral tersebut belum bisa ditetapkan.
Sementara itu, Apindo menegaskan bahwa dunia usaha membutuhkan kepastian hukum dalam penetapan upah, agar tidak membebani perusahaan secara sepihak tanpa ada kesepakatan yang adil bagi semua pihak.
“Kami tentu mengikuti regulasi yang berlaku. Jika tidak ada kesepakatan, maka UMSK tidak bisa dipaksakan,” tegas Rafki.
Ketua FSPMI Batam, Masrial, sebelumnya mengkritik keputusan Gubernur Kepri yang dinilai mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa UMSK bisa ditetapkan tanpa harus ada kesepakatan antara buruh, pengusaha, dan pemerintah.
“Sikap Gubernur Kepri yang belum mengesahkan SK UMSK menunjukkan ketidaktegasan dalam memperjuangkan kesejahteraan buruh, meskipun keputusan MK sudah jelas,” tegas Masrial.
Menurut Masrial, keputusan MK sudah menggarisbawahi bahwa penetapan upah sektoral tidak bergantung pada kesepakatan tripartit antara pengusaha, pemerintah, dan serikat buruh.
“MK sudah menyampaikan bahwa upah sektoral bisa ada. Tidak ada aturan yang menyatakan jika tidak ada kesepakatan maka gubernur tidak bisa mengesahkan. Di daerah lain, gubernur tetap berani mengambil keputusan meski tanpa kesepakatan bulat,” lanjutnya.
Masrial juga menyesalkan sikap Gubernur Kepulauan Riau yang memilih untuk mengembalikan rekomendasi UMSK dengan alasan tidak ada kesepakatan antara pihak-pihak terkait.
“Lagipula, sejak kapan buruh dan pengusaha bisa sepakat?” sindirnya.
Selain itu, Masrial mengkritik ketidakberanian pemerintah daerah dalam mengambil sikap tegas.
“Kami tidak mengerti apakah pimpinan daerah abai terhadap masyarakat atau takut kepada pengusaha. Biasanya pengusaha takut pada pemerintah, sekarang malah sebaliknya,” tuturnya.
FSPMI menuntut agar pengesahan UMSK untuk dua sektor yang dianggap penting bagi buruh, yaitu sektor dengan risiko menengah dan sektor dengan risiko berat. Kenaikan upah yang diusulkan sebesar 1,5 persen untuk sektor risiko menengah dan 2,5 persen untuk sektor risiko berat, dengan angka nominal berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp80 ribu.
“Meskipun nominalnya tidak besar, angka tersebut sangat berdampak bagi kelayakan hidup buruh, terutama di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok,” pungkasnya. (*)
Reporter : Rengga Yuliandra
Editor : RYAN AGUNG