Buka konten ini
Wahyu Muryadi dan Diaz Nawaksara memburu naskah-naskah kuno dengan mendatangi pemilik atau ikut lelang dan dua-duanya penuh tantangan. Perawatan dilakukan secara sederhana, antara lain menggunakan campuran merica, cengkih, garam, dan kapur barus.
DI meja beralas kain hijau itu berjajar sembilan manuskrip yang beralas kain putih. Ada yang terbuat dari media daluang, lontar, serta kertas linen.
Empat dari kesembilan manuskrip yang dipajang dalam Pameran Naskah Kuno dan Peresmian
Pusat Studi Kajian Manuskrip dan Wali Jawa Timur Universitas Islam Lamongan pada Sabtu (15/2) lalu itu dituliskan dalam aksara dan bahasa Bali. Tiga lainnya dalam aksara pegon dan bahasa Jawa. Serta masing-masing satu dalam aksara dan bahasa Sasak serta aksara Carakan dan bahasa Jawa.
Umur masing-masing merentang jauh. Ada yang dari abad ke-17, ke-19, serta awal abad ke-20. Kesembilannya milik pegiat aksara Nusantara Diaz Nawaksara. Di kediamannya di Desa Dagan, Solokuro, Lamongan, masih ada sekitar 300 manuskrip dan buku-buku lama.
Jika ditotal, di rumahnya ada 500-an koleksi yang merupakan bagian dari Manuskripedia. Manuskripedia adalah yayasan yang didirikan jurnalis senior Wahyu Muryadi sejak 2022 dan Diaz menjadi co founder-nya.
Tapi, kerja-kerja inventarisasi naskah Nusantara sebenarnya sudah mereka lakukan sejak dua tahun sebelumnya. ”Berangkat dari keresahan dan satu gagasan yang sama, yaitu menyelamatkan naskah-naskah (Nusantara). Sebab, banyak naskah yang dibawa ke luar negeri, entah itu dijual atau dijadikan koleksi,” ucap Diaz kepada Jawa Pos Radar Lamongan (grup Batam Pos).
Diaz dan Wahyu memburu manuskrip dengan langsung mendatangi pemilik naskah atau kadang terpaksa harus ikut lelang. Dua-duanya tak mudah.
Sebelum mendatangi pemilik naskah, mereka harus meriset dulu naskah mana yang harus diamankan. Lalu dilanjut perburuan ke lapangan yang kadang mempertemukan mereka dengan pihak yang berusaha memanfaatkan.
Untuk lelang, tantangannya ada di harga karena harus bersaing dengan pembeli berdana tebal, terutama pembeli dari luar negeri. ”Tantangan lainnya dalam mencari naskah, tidak selalu kami dapat naskah yang kondisinya bagus. Selain itu, masalah perawatan naskah itu cukup berat,” ucap Diaz.
Sebagian koleksi Manuskripedia disimpan Wahyu, sebagian lainnya oleh Diaz. Untuk perawatan, mereka dibantu tim.
Pada 2021 sampai 2022, mereka memulai penataan katalog. Manuskripedia menggarap transliterasi, translasi, digitalisasi, dan diseminasi.
”Tahun ini kami lebih proaktif menyebarkan untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa Manuskripedia hadir di tengah masyarakat. Terutama di tengah lingkungan pendidikan dan kami siap berkolaborasi,” kata Diaz.
Sejauh ini, Manuskripedia sudah berhasil mendigitalisasi sekitar 300 naskah. Masih 200-an yang belum. Isinya beragam. Ada yang berkaitan dengan sejarah keilmuan, mistik, kesenian, serta ada pula kitab-kitab pesantren.
”Naskah paling tua dari Manuskripedia itu dari tahun 1600-an,” ujarnya.
Naskah tertua tersebut terkait azimat dan keilmuan pesantren. Sebenarnya ada yang lebih tua, naskah Baratayudha dari abad ke-11. ”Tapi, bukan naskah asli, hanya salinan,” katanya.
Untuk perawatan, Diaz menyebut masih sederhana. Disimpan di tempat kering, tidak lembap, dan sebulan sekali dipindah untuk meng-hindarkan dari rayap.
”Itu yang cukup membutuh-kan effort ya,” katanya.
Wahyu menambahkan, Manuskripedia memang didirikan untuk menjaga dan merawat manuskrip. Buah pemikiran para empu beragam bidang yang kemudian dialihbahasakan untuk diambil sari patinya.
Karena banyaknya naskah kuno Nusantara yang berada di luar negeri, Wahyu mendorong pemerintah melakukan perjanjian repatriasi. ”Sudah berjalan sih karena belum lama ini kan ada kira-kira 700-an manuskrip yang dikembalikan dari Belanda ke Indonesia. Tapi, di
Inggris belum, di Prancis belum, di Italia juga belum banyak,” ujarnya.
Untuk bisa menggerakkan roda Manuskripedia, tentu saja dibutuhkan dana. Sejauh ini, kata Wahyu, mereka sepenuhnya memakai dana pribadi. Pihaknya belum pernah minta bantuan siapa pun.
”Alhamdulillah, sampai sejauh ini sudah ada lebih dari 500 koleksi dari seluruh tanah air yang minta supaya disimpan. Ada yang minta dimaharkan, ada yang dijual, dan seterusnya. Semuanya kami jaga,” katanya.
Dalam segi perawatan, memang seharusnya dibutuhkan teknologi canggih untuk menjaga dari kelembapan. Tapi, Wahyu bersyukur tim bisa melakukannya secara sederhana dan berkala.
Salah satu cara perawatan adalah menggunakan racikan merica yang ditumbuk dan ditambah cengkih serta campuran garam dan kapur barus. ”Banyak cara teman-teman untuk merawat dan itu memang butuh kesabaran,” ujarnya. (***)
Reporter : AHMAD ASIP ALAFI
Editor: RYAN AGUNG