Buka konten ini
JAKARTA (BP) – Kekurangan dokter spesialis merupakan masalah klasik di Indonesia. Salah satunya adalah spesialis bedah toraks dan kardiovaskular (BTKV). Di Indonesia, jumlahnya hanya sekitar 270 orang.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, Indonesia butuh sekitar 1.300 dokter spesialis BTKV dalam 10 tahun ke depan. Perhitungan itu berdasar analisis dari International Health Metrics and Evaluation (IHME) yang mempertimbangkan demografi penduduk serta tren penyakit.
”Populasi yang menua dan meningkatnya kasus penyakit jantung menjadi alasan utama kebutuhan ini,” katanya.
Menurut Menkes Budi, meski jumlah dokter spesialis BTKV terbatas, pemerintah tetap berupaya memperbaiki distribusi dan pendidikan sumber daya manusia (SDM) kesehatan.
Salah satunya dengan memperbanyak rumah sakit berbasis pendidikan spesialis (hospital-based).
Rumah sakit besar seperti RSUD dr Soetomo, RS Kariadi, dan RS Prof Ngoerah di Bali telah menjadi pusat pelatihan. ”Kami ingin rumah sakit-rumah sakit besar menjadi pusat pendidikan agar lebih banyak dokter BTKV yang terlatih,” ujarnya.
Budi juga menjelaskan upaya pemerintah untuk menyediakan infrastruktur medis yang memadai. Saat ini pemerintah telah memperoleh pinjaman dari Bank Dunia untuk membeli alat medis.
”Alat-alat medis sudah tersedia dan kami menargetkan seluruh alat medis yang diperlukan untuk bedah jantung tersedia di seluruh Indonesia pada 2026,” tambahnya.
Meski alat medis sudah disediakan, masalah distribusi SDM yang merata tetap menjadi tantangan. Budi mengungkapkan, sebelumnya hanya ada delapan provinsi yang mampu melakukan prosedur bypass jantung. Namun, kini jumlahnya meningkat menjadi 25 provinsi.
Kami menargetkan semua, 34 provinsi, memiliki fasilitas dan tenaga medis yang mampu menangani kasus jantung meski saat ini masih ada daerah yang kekurangan dokter spesialis,” jelasnya.
Budi juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antarspesialis di berbagai bidang medis.
Dia menegaskan, kerja sama itu bukan kompetisi, melainkan demi kepentingan pasien.
”Tidak perlu khawatir soal kekurangan pasien. Dengan ekonomi Indonesia yang terus berkembang, jumlah pasien akan terus ada. Kita harus bekerja sama, bukan saling berkompetisi,” tegasnya.
Ketua Himpunan Bedah Toraks dan Kardiovaskular Indonesia (HBTKVI) dr Prasetyo Edi SpBTKV mengungkapkan, meski sudah ada enam program studi bedah toraks dan kardiovaskular di Indonesia, distribusi masih menjadi tantangan besar. Pengisian posisi dokter spesialis di daerah terpencil masih menghadapi kesulitan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, anggota HBTKVI yang menjabat di program studi akan merekrut calon spesialis dari daerah asal. Meski kualitas dari daerah bisa berbeda dengan lulusan dari Jakarta atau Surabaya, dia yakin dengan sistem pengampuan dari dokter spesialis senior, para dokter muda itu akan mendapatkan pelatihan yang cukup.
”Kami harus memastikan bahwa setelah lulus, mereka tidak hanya kembali ke daerah asal, tetapi juga memiliki komitmen untuk tinggal dan melayani masyarakat di sana,” katanya.
Selain pengembangan SDM, masalah distribusi alat medis menjadi perhatian. Prasetyo menjelaskan, meski alat-alat medis mahal sudah disediakan Kemenkes, distribusi alat yang baik harus diimbangi dengan ketersediaan tenaga medis yang memadai.
Dalam beberapa kasus, fasilitas di daerah sudah tersedia, tetapi masih kurang tenaga spesialis yang dapat mengoperasikan alat-alat tersebut. Karena itu, upaya peningkatan jumlah dan distribusi spesialis menjadi prioritas. (*)
Reporter : JP GROUP
Editor: RYAN AGUNG