Buka konten ini
NONGSA (BP) – Kota Batam tengah menghadapi permasalahan serius dalam pengelolaan sampah. Tumpukan sampah terlihat di berbagai titik, mulai dari tepi jalan perumahan, jalan utama, hingga lahan kosong.
Bau tak sedap dan pencemaran lingkungan semakin mengkhawatirkan, sementara pengangkutan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Punggur kerap terhambat.
Kepala UPT TPA Punggur, Nofrizal, mengungkapkan bahwa banyak armada pengangkut sampah dalam kondisi rusak, sehingga proses pengangkutan dari kota ke TPA menjadi tidak optimal.
”Ya, banyak kendaraan yang memang kondisinya rusak. Pada 2025 ini kami akan menambah 40 unit bin kontainer yang akan dibagi rata untuk sembilan kecamatan mainland,” ujarnya, Jumat (14/2).
Selain itu, tahun ini juga akan ada tambahan 14 unit armada pengangkut, terdiri dari dua dump truk dan 12 arm roll. Namun, meskipun Batam memiliki sekitar 90 dump truk dan 50 arm roll, banyak di antaranya tidak layak jalan.
Tidak hanya kendaraan, alat berat di TPA Punggur juga mengalami kerusakan. Dua buldoser dan dua ekskavator yang seharusnya beroperasi untuk mengelola sampah justru tidak bisa digunakan. Akibatnya, antrean panjang truk yang hendak menurunkan muatan sampah menjadi pemandangan sehari-hari.
”Normalnya, dump truk bisa dua rit sehari, sementara arm roll lima hingga enam rit. Tapi karena masalah ini, dump truk hanya bisa satu rit dan arm roll dua rit,” tambah Nofrizal.
Ketua Akar Bhumi, Hendrik Hermawan, menilai pemerintah daerah belum serius dalam menangani masalah sampah di Batam. Ia menekankan pentingnya inovasi dalam sistem pengelolaan sampah agar permasalahan ini tidak semakin memburuk.
”Pemerintah pusat tidak akan mungkin mengalokasikan lahan baru untuk TPA. Keterbatasan lahan ini menuntut kita melakukan inovasi dalam pengelolaan sampah di TPA Punggur,” ujarnya.
Menurutnya, lonjakan volume sampah di Batam dipicu oleh pertumbuhan penduduk serta meningkatnya jumlah wisatawan. Namun, hingga kini pemerintah masih sebatas menaikkan anggaran tanpa kebijakan konkret dalam penanganan sampah.
”DLH Batam memang berbicara soal keterlibatan investor atau pihak swasta, tetapi sampai saat ini implementasinya masih belum optimal,” katanya.
Akar Bhumi juga merasakan dampak langsung dari permasalahan ini, terutama di kawasan konservasi yang mereka kelola di Tanjung Piayu, Seibeduk. Sampah yang terbawa arus laut kerap menumpuk di pesisir saat air laut surut, memperparah pencemaran lingkungan.
Berdasarkan data yang mereka miliki, Batam menghasilkan ribuan ton sampah setiap harinya, dengan sekitar 70 persen di antaranya merupakan sampah organik. Hendrik menilai, kondisi ini menuntut kebijakan yang lebih progresif, termasuk penerapan teknologi modern dalam pemrosesan sampah.
Selain itu, ia juga menyoroti lemahnya penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kota Batam Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah.
Menurutnya, aturan tersebut belum dijalankan secara tegas.
”Pemerintah masih terlalu ‘bijaksana’ dalam memberikan toleransi kepada masyarakat yang tidak mematuhi aturan tersebut,” pungkasnya. (*)
Reporter : Azis Maulana
Editor : RATNA IRTATIK