Buka konten ini

Tak mudah merangkum persoalan gender yang begitu kompleks dalam satu buku setebal 174 halaman. Tapi, setidaknya, esai-esai Radius Setiyawan memberikan perspektif baru dalam melihat persoalan kekerasan pada perempuan dengan pembaruan terkait data-data termutakhir.
SETIAP tahun, korban kekerasan kepada perempuan terus meningkat. Perempuan menjadi korban pemukulan, pelecehan, penculikan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Butuh solusi untuk menghentikan itu semua.
Radius Setiyawan membuka paradigma terkait dari mana kekerasan itu bermula. Buku yang ditulisnya dengan judul Reproduksi Kekerasan sejak Belia: Wajah Perempuan-Anak Indonesia dalam Sastra dan Media menggambarkan perilaku kekerasan bermula saat seseorang mendapat pembelajaran di SD.
Saat anak itu mulai membaca buku ajar di sekolah bermuatan bias gender, mulai melihat tayangan kekerasan di media, mulai mendengarkan cerita rakyat yang diceritakan turun-temurun.
Radius melakukan penelitian dan melihat bagaimana kurikulum bahan ajar SD, mulai Orde Baru, kemudian Orde Reformasi, Kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka, yang meskipun terdapat perbaikan dalam beberapa bagian, masih banyak mengandung gambar dan teks narasi ketidakadilan gender dan ketimpangan ekologi. Misalnya, gambaran perempuan hanya berposisi mengurus rumah tangga, memasak, menyapu, mencuci. Sedangkan laki-laki diposisikan sebagai pihak yang superior.
Tidak jauh berbeda dengan buku ajar di sekolah dasar, buku Radius juga mengacu pada media. Tayangan media sering kali menunjukkan cara berpikir patriarki, dualistik, dan logika dominasi.
Terutama hubungan perempuan dengan alam. Lingkungan diperkosa, hutan perawan, dan ibu bumi adalah istilah-istilah yang menggambarkan alam yang diperempuankan. Sedangkan perempuan yang dialamkan tecermin dalam istilah-istilah bitch atau ”anjing betina”, maupun perempuan pekerja seksual, ”ayam kampus” untuk merujuk mahasiswi yang bekerja sebagai pekerja seksual, dan ”jinak-jinak merpati” sebagai representasi perempuan yang tenang namun sesungguhnya liar.
Dua narasi di atas masih belum selesai. Buku ini juga melihat bagaimana cerita-cerita rakyat yang didengarkan untuk anak kecil menyimpan persoalan serius bagaimana menggambarkan perempuan sebagai makhluk lemah tak berdaya. Di antaranya kutipan pada halaman 5:
”Tokoh perempuan ditampilkan sebagai sosok di bawah kendali laki-laki. kisah Putri Salju dan Cinderella adalah contoh bagaimana perempuan digambarkan sebagai manusia yang tidak berdaya. Perempuan hanya pasrah menunggu sosok laki-laki dambaan untuk menyelamatkan dirinya. Begitu juga cerita Timun Mas, dia digambarkan tergantung dengan empat paket ajaib untuk tetap bisa bertahan hidup.”
Wacana Kuasa
Sebuah kisah, baik lisan maupun tulisan, dapat membangun pola konstruksi berpikir seseorang. Terlebih anak yang duduk di sekolah dasar. Apa yang mereka baca, lihat, dengarkan, akan membentuk suatu keyakinan yang terus diyakini, dijalankan, dan diterapkan dalam kehidupannya. Jika narasi-narasi yang diterima banyak yang menghinakan perempuan, bukan tidak mungkin perilaku kekerasan akan dilakukan di kemudian hari.
Gagasan Radius sejalan dengan pandangan Bourdieu (1991) bahwa masyarakat hari ini tidak menyadari adanya kekuatan yang membelenggu mereka. Meskipun terlihat jelas di depan mata.
Mekanisme kekerasan simbolik pada tokoh-tokoh perempuan dipraktikkan dalam bentuk eufemisme. Eufemisme adalah mekanisme kekerasan simbolik yang biasanya tidak terlihat, bekerja secara wajar, dan tidak dikenali serta dipilih secara tidak sadar. Misalnya, berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, kesopanan, administrasi, pinjaman, penghargaan, atau rasa kasihan.
Beberapa contoh kuasa teks yang diteliti Radius dalam bukunya banyak menggambarkan buku teks anak SD yang cenderung rasis kepada Papua, laki-laki terlalu dominan atas peran dibanding perempuan, serta teks yang melemahkan posisi perempuan.
Menurut saya, teks-teks yang dicontohkan ini bahaya karena kuasa wacana dalam teks adalah praktik penggunaan bahasa untuk mendapatkan kekuasaan. Wacana dan kekuasaan saling berkaitan karena pengetahuan yang digunakan dalam wacana dapat menghasilkan kebenaran dan menimbulkan efek kuasa.
Ada dua catatan kecil untuk buku ini. Pertama, buku ini secara tema tidak runut, tetapi loncat-loncat. Setelah membahas sastra anak, kemudian membahas majalah, lalu membahas media. Substansi untuk mendalami satu gagasan besar perlu dibaca berulang sehingga pembaca baru memahami apa maksud dari penulis. Bagi pembaca awam, perlu mengerutkan dahi untuk memahami makna yang terkandung dalam tulisan. (*)
Karya : TEGUH IMAMI
Editor : MUHAMMAD NUR