Buka konten ini
Dalam puisi-puisi di Jejak Lintasan yang ditulis dengan metode lirik naratif dan deskriptif, Raudal Tanjung Banua tidak membuat katalog detail. Tapi, melakukan analisis kualitatif, menghasilkan kesan yang diperuntukkan bagi pikiran dan hati.
AKHIR 2024, Raudal Tanjung Banua menerbitkan buku puisi terbaru, Jejak Lintasan, yang menarasikan sejumlah tempat yang pernah dikunjunginya. Baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Dalam khazanah sastra Indonesia, Raudal Tanjung Banua (Raudal) dikenal sebagai penulis puisi, prosa (cerpen dan esai), serta tulisan-tulisan jenis lain yang sudah sering dibaca masyarakat seperti laporan perjalanan. Ia pun acap menjadi pembicara dalam seminar tentang karya sastra.
Dari semua tulisannya, satu ciri yang melekat pada dirinya, ia menulis tentang daerah-daerah atau tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, dengan sedikit perhatian terhadap sejarah dan antropologi.
Dalam cerpen, posisi sebagai pencatat perjalanan ditegaskannya dengan buku Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (Akar Indonesia, 2013) dan pilihan ini tak bisa dibandingkan dengan Italo Calvino yang menulis Invisible Cities berdasar catatan perjalanan Marco Polo dalam The Travels of Marco Polo.
Kebiasaan Raudal mengingatkan saya kepada Claude Monet pada dekade 1800-an, ketika pelukis ini mengemas kuas cat dan memulai perjalanan panjang untuk memotret pemandangan alam. Apa yang dilakukan Monet juga dilakukan Eugene Louis Boudin dan seniman Prancis lain, dikenal sebagai gerakan seni ”en plein air” (udara terbuka). Gerakan ini untuk membebaskan diri dari pakem-pakem gaya seni akademik (academic art) dan memperkenalkan gaya seni lukis baru yang kini dikenal sebagai retreat art.
Bukan Katalog Detail
Saya meragukan Raudal sedang berpikir mengembangkan sastra retret, tapi mungkin ia sudah berpikir ke sana, berkeliling ke objek-objek alam untuk memotretnya menjadi karya sastra. Ketika kakinya menjejak di suatu daerah di Sulawesi, misalnya, ia segera menyadari bahwa ia akan menulis puisi tentang tempat itu. Tapi, ia kemudian berpikir bahwa ia dapat menghasilkan cerpen tentang tempat itu, meskipun pada akhirnya ia ternyata menghasilkan sebuah tulisan perjalanan tentang tempat yang sama.
Buku puisi terbarunya, Jejak Lintasan, mencatat apa yang disaksikannya selama perjalanan. Di dalam puisi-puisinya yang ditulis dengan metode lirik naratif dan deskriptif, Raudal tidak membuat katalog detail, tapi melakukan analisis kualitatif, menghasilkan kesan yang diperuntukkan bagi pikiran dan hati. Ia memilih posisi sebagai pelukis yang bekerja dengan kata-kata.
Membaca puisinya membuat saya harus meyakinkan diri bahwa saya belum pernah ke daerah yang menjadi objek dalam puisi itu, meskipun sebetulnya saya sudah pernah mengunjungi daerah tersebut. Sebab, puisinya mengungkapkan fakta yang lebih kaya dari apa yang saya ketahui tentang daerah tersebut.
Dalam puisi ”Catatan (tak Selesai) Rawa Aopa Watumohai”, misalnya, Raudal memotret sisi lain dari taman nasional, yakni sepenggal riwayat manusia yang hidup di lingkungan rawa, di mana manusia menciptakan peradaban yang khas untuk menyiasati lingkungan yang dipenuhi air itu.
Puisi yang terdiri atas tiga bagian itu dibuka dengan bagian ”Anak-anak Rawa”: tengah rawa lunak basah/sampan yang keras dialirkan/sepasang tangan anak-anak/tumbuh dalam asuhan duri pudak//terbukalah arena/pacuan lengan terbuka/bangau tongtong, burung-burung blekok/menyatu dalam keriangan/tarian ganggang, hijau rumpu/yang mengombak.
Realitas kehidupan manusia di lingkungan rawa, yang akrab dengan air, flora dan fauna khas rawa seperti bangau tongtong dan teratai, dermaga, nelayan dengan pancing dan jala, sangat berbeda dengan apa yang saya ketahui tentang Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) itu. Bagi saya, yang tak asing dengan problem-problem sosial masyarakat yang tinggal di sekitar tanah negara (taman nasional), hal yang paling khas adalah konflik manusia dengan lingkungan, di mana masyarakat selalu menjadi pihak yang dipersalahkan.
Dan memang, petani-petani yang tinggal di sekitar TNRAW, terutama yang hidup di sepanjang daerah aliran sungai yang membentuk taman nasional menjadi perpaduan sabana, hutan bakau, rawa, dan hutan hujan tropika, selalu dituduh sebagai pelaku perambahan hutan. Mereka dicap perusak lingkungan, meskipun hanya berusaha hidup dengan mengembangkan perkebunan kakao yang luasnya tak sampai satu hektare.
Fakta kehidupan manusia yang keras dan senantiasa dalam tekanan regulasi pemerintah yang saya saksikan di sekitar TNRAW sama sekali tak muncul dalam puisi Raudal. Sebaliknya, puisi panjang itu menyajikan harmoni ketika manusia dan lingkungannya menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi antara satu dan lainnya. (*)
Karya : BUDI HUTASUHUT
Editor : MUHAMMAD NUR