Buka konten ini









Perburuan ikan dingkis telah menjadi tradisi tahunan bagi nelayan di Kepri, khususnya di Batam. Awal Januari, laut menjadi saksi perjuangan para nelayan mencari ikan rezeki, yang puncaknya pada perayaan Imlek, 29 Januari. Tidak seperti perburuan ikan lainnya yang mengandalkan alat modern, perburuan dingkis dilakukan dengan cara tradisional. Seperti yang dilakukan para nelayan di Kecamatan Belakangpadang dan sekitarnya. Mereka hanya menggunakan kelong berbentuk huruf V yang di kiri-kanannya dilengkapi jaring ditopang kayu, lalu di bangian sudut V dilengkapi bubu sebagai perangkap.
Ada ratusan kelong tersebar di berbagai wilayah di Belakangpadang. Khususnya di kawasan Pulau Pecong dan Pulai Siali dan sekitarnya. Kelong-kelong ini dipasang di jalur-jalur yang diperkirakan tempat lalu-lalangnya ikan dingkis maupun ikan jenis lainnya.
”Kelong ini diwariskan, sudah turun temurun dan menjadi sumber mata pencaharian warga di sini,” ujar Kepala Dinas Perikanan Kota Batam, Yudi Atmadji, Senin (27/1) di Pulau Pecong.
Dari beberapa kelong yang dikunjungi Batam Pos, pemilik kelong sebelum mengangkat bubu di kelong masing-masing, terlebih dahulu menyelam untuk mengecek apakah sudah banyak ikan terisi di bubu atau belum. Terutama saat air laut surut, waktunya mengangkat bubu.
Namun, hasilnya tidak bisa diprediksi. Untung-untungan. Ada kalanya bubu penuh dengan ikan dingkis, namun tidak jarang juga pulang dengan tangan kosong.
Meski penuh ketidakpastian, nelayan tetap antusias menanti momen ini. Ikan dingkis memang memiliki daya tarik tersendiri, terutama saat mendekati Imlek. Harga ikan ini melambung hingga Rp400 ribu per kilogram, terutama jika ikan tersebut bertelur. Ukuran telur dan besar kecilnya ikan menjadi penentu harga yang membuat para nelayan berlomba-lomba mencari tangkapan terbaik.
Menariknya, ikan dingkis sebenarnya bertelur tiga kali dalam setahun. Namun, masa menjelang Imlek selalu menjadi waktu yang istimewa.
“Ikan dingkis ini seperti berkah di kala Imlek. Kalau dapat banyak, rezeki nelayan juga banyak,” kata Yudi.
Tradisi perburuan ikan dingkis bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga sarat akan nilai-nilai budaya. Suara gelak tawa nelayan, gemuruh ombak, hingga cerita-cerita yang dibagikan di atas perahu menjadi warna yang melengkapi suasana. Semangat dan doa terus mereka panjatkan agar bubu yang terangkat dari dasar laut membawa banyak rezeki.
“Semalam (kemarin) tak dapat, hari ini begini. Air keruh pula. Belum ada dapat seekor dingkis pun,” kata salah seorang nelayan yang ditemui Batam Pos di Perairan Pulau Pecong, Jali.
Dia mengatakan, isu buaya juga membuatnya agak merasa waswas. Sehingga, dia tak sendirian untuk memanen dingkis. “Sama anak,” ucapnya singkat.
Hal yang senada diucapkan oleh Tayib. Isu buaya juga membuatnya agak takut-takut. Meskipun begitu, panen dingkis adalah sebuah keharusan. Harga dingkis, kata Tayib sekitar 27 dolar Singapura per kilogramnya atau setara Rp300 ribuan.
“Mau tak mau panen. Tak tak sebanyak semalam (kemarin),” ujarnya.
Dia mengatakan, ikan dingkis dipanennya Minggu (26/1) seberat 30 kilogram. Ikan tersebut didapatnya dari 4 kelong milikinya. Keberuntungan lagi tak bagus,” tuturnya diiringi gelak tawa.
Namun, keberuntungan di hari Senin (27/1), tak menjadi alasan baginya tak memanen dingkis esok harinya. Waktu panen dingkis masih ada sekitar 2 hari lagi.
Tayib optimistis, esok atau lusa, ikan dingkis didapatnya agak jauh lebih banyak dan besar. Sikap optimistis bukan tanpa alasan. Berdasarkan pengalamannya bertahun-tahun, ikan dingkis akan jauh lebis besar dan banyak didapat di H-1 dan hari H imlek.
“Telur-telurnya bisa lebih besar. Semoge saje,” ucap dengan dialek melayu yang cukup kental.
Bagi masyarakat Tionghoa, ikan dingkis diolah untuk berbagai jenis makanan khas Imlek. Masyarakat Melayu pesisir juga memiliki olahan khas, salah satunya ikan dingkis asam pedas. (***)
Reporter : fiska juanda
Editor : Muhammad NUR