Buka konten ini
BATAM (BP) – Aktivitas reklamasi yang dilakukan PT Blue Steel Industries (BSI) di Kampung Panau, Kabil, Nongsa, Batam, kembali menjadi perhatian publik. NGO Akar Bhumi Indonesia menemukan dugaan pencemaran dan kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan warga pesisir di wilayah tersebut.
Berdasarkan pengawasan lapangan yang dilakukan pada 16 Desember 2024, Akar Bhumi melaporkan bahwa reklamasi yang dilakukan PT BSI telah menimbun ekosistem mangrove seluas sekitar delapan hektare. Wilayah yang dulunya menjadi habitat alami biota laut dan pelindung pesisir itu kini telah tertutup material timbunan tanah bauksit.
Tak hanya itu, proses reklamasi disebut dilakukan tanpa pemasangan tanggul atau silt barricade, yang seharusnya berfungsi mencegah penyebaran sedimen ke perairan sekitar. Akibatnya, sedimentasi besar terjadi dan terbawa arus laut, menyebabkan pencemaran yang semakin parah.
Founder NGO Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, menyebut kondisi ini sangat memprihatinkan.
“Kerusakan dan pencemaran yang terjadi sangat besar. Bahkan nilai kompensasi yang ditawarkan kepada warga hanya sebesar Rp500 ribu per kepala keluarga, jauh dari cukup untuk menutupi dampak yang mereka alami,” katanya, Sabtu (1/2).
Sebagian besar warga Kampung Panau menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Dari total 141 kepala keluarga yang tinggal di kampung tersebut, sekitar 50 persen bekerja sebagai nelayan laut maupun nelayan pantai. Namun, aktivitas penangkapan ikan mereka kini terhenti akibat rusaknya lingkungan pesisir.
“Kami dulu bisa menangkap ikan dekat pantai. Sekarang lautnya rusak dan berlumpur. Untuk melaut, kami harus pergi sejauh 3,5 mil ke Pulau Sauh. Tapi di sana juga ada pencemaran dari KEK Tanjung Sauh,” ujar Soleh, seorang nelayan di daerah itu.
Selain pencemaran laut, aktivitas reklamasi PT BSI juga disebut telah menimbulkan masalah sosial dan ekonomi. Debu dari proses cut and fill turut menjadi keluhan warga. Mereka merasa terabaikan meski telah mengajukan tuntutan kepada perusahaan.
“Empat poin tuntutan warga sudah disetujui perusahaan, tapi soal kompensasi belum ada keputusan. Harapan kami, perusahaan mau berunding dan memenuhi permintaan warga,” ujarnya.
NGO Akar Bhumi Indonesia juga menyoroti dugaan pelanggaran berbagai regulasi terkait perlindungan lingkungan. Di antaranya adalah UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU No 27 Tahun 2007 junto UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Hendrik menegaskan, bahwa pemerintah, termasuk BP Batam dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), wajib turun tangan untuk memverifikasi perizinan serta dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh PT BSI.
Kegiatan usaha yang bersinggungan dengan masyarakat dan lingkungan di Batam semakin merajalela dan menciptakan kerugian besar.
“Jika dibiarkan, ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman masa depan ekosistem kita,” katanya.
Sebelumnya, NGO Akar Bhumi telah bersurat kepada KLHK pada 12 November 2024 untuk meminta perhatian atas kasus ini. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut yang memuaskan dari pihak terkait.
Selain itu, Komisi IV DPR RI juga telah memanggil sejumlah pihak terkait reklamasi ilegal di Batam, termasuk BP Batam dan pemerintah daerah. Sidang dengar pendapat telah digelar pada Agustus 2023, namun permasalahan reklamasi masih terus berlanjut.
Dia menyebut, investasi yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi hanya akan merugikan masyarakat serta lingkungan sekitar.
“Investasi yang tidak menjaga segitiga ekonomi, sosial, dan lingkungan akan membawa kerugian yang lebih besar dari keuntungan yang ingin dicapai,” katanya.
Batam Pos telah berupa untuk mengonfirmasi hal tersebut ke pihak PT BSI, melalui legal perusahaan, Alhadid. Namun, hingga berita ini dibuat, yang bersangkutan belum merespons. (*)
Reporter : Arjuna
Editor : MUHAMMAD NUR