Buka konten ini
Di tiap-tiap sudut perbincangan budaya Melayu, makanan bukan hanya soal rasa, tetapi juga narasi yang panjang tentang jejak peradaban dan perantauan. Budayawan Batam, Samson Rambah Pasir, mengurai sejarah nasi dagang yang tidak hanya mencerminkan selera, tetapi juga kehidupan mereka yang pernah menggantungkan hidup di pelabuhan dan pasar.
Nasi dagang memiliki pesona sederhana, namun kuat. Hidangan ini biasanya terdiri dari nasi yang dimasak dengan santan hingga harum menggoda. Sebagai pendamping, lauk berupa ikan tongkol bercita rasa gurih pedas berpadu dengan sambal khas yang bertekstur halus. Semua ini dibungkus dengan daun pisang, menghadirkan aroma alami yang kian memperkaya cita rasa.
Menurut Samson, istilah “nasi dagang” bukan hanya sekadar nama, tetapi memiliki sejarah sosial yang panjang.
”Di Kepri dan Malaysia, orang menyebutnya nasi dagang. Di Jawa, ada yang mirip, namanya nasi kucing, tapi rasanya beda,” tuturnya dengan nada penuh nostalgia.
Sejarah nasi dagang berakar dari kebiasaan masyarakat Melayu yang sarapan di kedai. Orang-orang yang sarapan nasi dagang awalnya adalah para pedagang atau perantau yang tidak punya rumah. Mereka tinggal sementara di pasar atau pelabuhan.
Para pedagang itu, kata Samson, bukan hanya berasal dari kawasan lokal. Banyak di antaranya pendatang dari Bugis, Banjar, dan Minangkabau.
”Mereka singgah untuk waktu tertentu di pelabuhan, tidur di kedai atau emperan pasar, dan nasi dagang menjadi bagian dari keseharian mereka,” katanya.
Kehadiran nasi dagang tidak bisa dipisahkan dari sejarah kawasan Melayu yang sejak dulu menjadi pusat perdagangan.
Dari Melaka pada abad ke-14 hingga Johor, Singapura, dan Tanjungpinang pada abad ke-19 hingga ke-20, kawasan ini senantiasa diramaikan oleh arus manusia yang membawa budaya kuliner masing-masing.
“Kalau ditanya sejak kapan nasi dagang ada, sulit menjawabnya. Tapi yang jelas, sejak negeri-negeri Melayu jadi pusat perdagangan, makanan ini sudah ada,” kata Samson.
Nasi dagang tak hanya menjadi makanan bagi para pedagang, tetapi lambat laun menarik perhatian masyarakat umum. Dalam perkembangannya, bukan hanya pedagang yang membeli nasi dagang, tapi juga warga biasa yang menyukai kepraktisannya.
Hidangan ini pun akhirnya berkembang menjadi simbol kebersamaan dan keterbukaan budaya Melayu. Daun pisang yang digunakan sebagai pembungkus bukan sekadar pelindung, tetapi lambang harmoni dengan alam.
Meskipun zaman telah berubah, nilai-nilai yang melekat pada nasi dagang tetap relevan. Nasi dagang mengajarkan tentang sederhana tapi penuh makna, tentang bagaimana hidup bisa tetap indah meski di tengah keterbatasan.
Di Batam, warisan nasi dagang masih hidup, meski mungkin tidak sepopuler dulu. Masih ada beberapa kedai yang menjual nasi dagang, terutama di kawasan pasar tradisional.
Para penjual nasi dagang biasanya mulai menjajakan dagangannya sejak pagi buta. Aroma daun pisang yang terbakar ringan saat nasi dibungkus itu luar biasa.
Rasa gurih dari nasi yang berbaur dengan harumnya daun pisang menjadi daya tarik tersendiri. Begitu buka bungkusan nasi dagang, rasanya seperti membuka kenangan lama. Oh, nikmatnya!
Bagi masyarakat Melayu, nasi dagang tidak hanya mengisi perut, tetapi juga mengisi ruang-ruang nostalgia tentang masa lalu yang penuh perjuangan. Nasi dagang adalah cerita tentang perantau yang mencari penghidupan di negeri orang.
Generasi muda mestinya tidak melupakan warisan kuliner ini. Budaya itu bukan cuma tentang tarian dan pakaian, tapi juga tentang makanan yang menyimpan sejarah hidup.
Sementara, ada hal yang tak kalah penting: pelestarian makanan tradisional. Kalau tidak ada yang melanjutkan tradisi ini, nasi dagang bisa jadi hanya tinggal cerita.
Seiring dengan modernisasi, tantangan untuk mempertahankan makanan tradisional seperti nasi dagang memang semakin besar.
Namun, Samson percaya selama masih ada orang yang menghargai nilai-nilai tradisional, nasi dagang tidak akan pernah benar-benar hilang.
Semoga aroma daun pisang nasi dagang tetap hidup di hati masyarakat kita. (***)
Reporter : Arjuna
Editor : MUHAMMAD NUR