Buka konten ini
BATAM (BP) – Persoalan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menjadi catatan penting bagi aparat berwajib di Batam dan Kepulauan Riau (Kepri). Hal ini terus menjadi sorotan karena Batam, sebagai Bandar Dunia Madani, menjadi salah satu jalur utama bagi pelaku TPPO.
Berdasarkan data resmi Polda Kepri sepanjang 2024, sebanyak 68 kasus TPPO berhasil diungkap, dengan 36 di antaranya telah diselesaikan.
Upaya ini melibatkan penin-dakan tegas terhadap jari-ngan pelaku TPPO yang bero-perasi di wilayah Kepri.
Dari pengungkapan tersebut, sebanyak 100 tersangka ditangkap, sementara 242 korban perdagangan manusia berhasil diselamatkan. Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam juga menyoroti TPPO sebagai perhatian utama pada 2024. Dari sepuluh perkara dengan jumlah kasus tertinggi di Batam, TPPO menempati posisi kedua dengan 130 perkara, sedangkan kasus pekerja migran Indonesia (PMI) berada di posisi keenam dengan 51 perkara.
Meski jumlah kasus TPPO menurun dibandingkan 2023 yang mencatat 133 perkara, jumlah ini tetap signifikan.
Sementara itu, kasus PMI juga mengalami penurunan dari 65 kasus pada 2023 menjadi 51 kasus pada 2024.
Kajari Batam, I Ketut Kasna Dedi, memastikan perekrut PMI ilegal dituntut secara maksimal. Menurutnya, hukuman berat bagi perekrut adalah langkah penting untuk memberikan efek jera.
”Awalnya, saya banyak mendapat kritik, tetapi kami berpandangan bahwa perekrut harus dituntut lebih dari lima tahun. Kalau hanya sopir taksi yang mengantar, tuntutan maksimal tiga tahun sudah cukup. Itu sudah layak,” ujarnya.
Ia menambahkan, penuntutan terhadap pelaku PMI ilegal dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Pelaku yang mengetahui tindakannya tetapi tetap melakukannya akan menghadapi tuntutan lebih berat.
Penanganan kasus PMI ilegal tidak cukup dilakukan di hilir. Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu menggali penyebab utama masya-rakat tergiur menjadi PMI ilegal.
”Perkara PMI harus diselesaikan secara menyeluruh, dari hulu hingga hilir. Kita harus memahami apa yang membuat masyarakat tergoda dengan jalur ilegal,” katanya.
Salah satu solusi untuk memberantas PMI ilegal adalah dengan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Program pelatihan kerja, menurutnya, dapat mengurangi daya tarik jalur ilegal.
”Para PMI ilegal sering kali tergiur janji penghasilan besar di luar negeri. Dengan memperbanyak pelatihan kerja, daya tarik jalur ilegal bisa berkurang,” ujarnya.
Ia juga mengimbau masya-rakat agar bekerja ke luar negeri melalui prosedur resmi yang telah ditetapkan pemerintah. Langkah ini diharapkan dapat mencegah permasalahan yang sering muncul akibat jalur ilegal.
Sementara itu, pendiri Migrant Care, Anis Hidayah, menyoroti bahwa sindikat TPPO sering melibatkan oknum aparat. Menurutnya, sindikat TPPO tidak akan leluasa tanpa campur tangan aparat.
”Trafficking adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang penanganannya masih sektoral. Pendekatannya seharusnya multidisipliner,” katanya.
Anis menambahkan, penegakan hukum masih belum optimal. Banyak pelaku di tingkat atas yang tidak terjerat hukum, sementara pelaku di tingkat bawah, seperti calo, justru menjadi target utama.
”Pemerintah juga perlu meningkatkan mekanisme penga-wasan di wilayah perbatasan. Dengan banyaknya jalur perbatasan Indonesia, masih terdapat kelemahan dalam mencegah mobilitas penduduk yang dimanfaatkan oleh sindikat TPPO,” ujarnya.
Sejak Covid-19, upaya pencegahan mengalami kemandekan karena program-program pemerintah banyak yang direalokasi untuk hal-hal yang lain. Ini yang menurut Anis perlu dikonsolidasi ulang.
”Pemerintah dalam pencegahan harus multisektoral. Semua unsur harus terlibat. Jadi pemerintahnya pun di tingkat eksekutif itu juga harus lintas kementerian karena ini menyangkut banyak kementerian,” kata Anis.
Ia melihat peran pemerintah belum efektif dalam upaya pencegahan dan lain sebagainya. Itu dilihat dari turunnya tier atau rangking Indonesia dalam penanganan trafficking.
Meski itu bukan segala-galanya, namun bagi dia bisa dipakai sebagai jadi salah satu indikator bahwa upaya penanganan terhadap trafficking mengalami penurunan. Anis turut menyoroti peran Imigrasi yang sebenarnya adalah palang pintu terakhir untuk memastikan bagaimana migrasi aman.
”Penegakan HAM pekerja migran kita dipastikan di Imigrasi. Kalau ada indikasi TPPO mestinya ada pencegahan,” kata dia.
Imigrasi, tambahnya, merupakan salah satu aparat yang selama ini oknum-oknumnya banyak terlibat dalam kasus tersebut. Untuk itu, komitmen Kemenkumham sangat penting bagaimana memastikan keimigrasian turut memberantas trafficking.
”Imigrasi ini juga menjadi pihak yang berkomitmen untuk memberantas trafficking, bukan kemudian malah memberi ’karpet merah’ atau justru malah menjadi oknum pelaku sindikat yang terorganisir ini,” katanya.
Pastor Ketua Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) Kepri, Chrisanctus Paschalis Saturnus mengungkapkan bahwa tren perdagangan manusia kerap dijumpai pada laman medsos seperti Facebook. Ia menuturkan ada semacam promosi pekerjaan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi korban dengan tentunya diiming-imingi gaji yang menggiurkan.
”Sekarang ini zamannya sudah canggih. Modusnya sudah menggunakan teknologi,” kata dia.
Untuk pemerintah, ia meminta untuk lebih serius lagi memberikan pemahaman atau edukasi tentang migrasi sesuai aturan. Dia juga menyinggung peran pemerintah yang terbilang sebuah kemunduran dalam penanganan masalah migran.
”Setelah selesai menginvestasi dan penanganan hukum terkait masalah ini, pemerintah harus lebih serius lagi memberikan edukasi-edukasi tentang migrasi yang aman karena hal itu sangat penting. Ini sebuah kemunduran yang dilakukan pemerintah,” kata pria yang akrab disapa Romo Paschal itu.
Ia mengkritik tajam terhadap lemahnya penanganan aparat terhadap TPPO. ”Kami merasa sebenarnya bukan hanya soal responsif, dalam banyak hal untuk urusan TPPO mereka membiarkan saja itu terjadi. Tidak ada tindakan serius menyelesaikan ini,” tukasnya.
”Ini bukan permainan baru, ini sudah masalah menahun. Ini bukan tidak merespons, tapi tidak peduli. Selama aparat tidak memiliki keseriusan dan masih ada informasi mereka yang ikut bermain, ini tidak akan pernah berhenti,” tambah Romo Paschal.
Jaringan Safe Migran (JSM) telah menunjukkan komitmen dalam memberikan perlindungan bagi kelompok rentan di Batam. Beranggotakan 15 lembaga, jaringan ini terus melawan pelanggaran hak asasi manusia, terutama yang menimpa perempuan, anak, dan pekerja migran.
Tahun 2024 menjadi cerminan beratnya tugas yang mereka hadapi. Dari 181 kasus yang didampingi, teridentifikasi 209 korban, terdiri dari 69 anak dan 140 dewasa. Sebagian besar kasus melibatkan TPPO (32,6 persen), kekerasan seksual (18,8 persen), kekerasan fisik (11,6 persen), hingga eksploitasi ekonomi (6,1 persen). Fakta lain yang memprihatinkan, 44,2 persen pelaku kekerasan berasal dari keluarga korban, diikuti teman dekat (31,7 persen) dan orang tak dikenal (11,7 persen).
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, seperti biaya visum yang tinggi, keterbatasan layanan, hingga minimnya sensitivitas gender di kalangan aparat penegak hukum, JSM tetap menyediakan berbagai bentuk pendampingan. Mulai dari layanan rumah aman, konseling, pemeriksaan psikologi, hingga bantuan pendidikan untuk korban.
Namun, JSM juga menyoroti hambatan eksternal, seperti intervensi keluarga pelaku yang memaksa adanya perdamaian, serta kurangnya dukungan keluarga korban dalam proses pemulihan. Untuk itu, JSM mengusulkan beberapa rekomendasi penting, seperti pelatihan bagi aparat penegak hukum untuk meningkatkan sensitivitas gender, penyediaan anggaran pendampingan korban, dan pe-nguatan regulasi daerah terkait perlindungan perempuan, anak, dan pekerja migran. Mereka juga mendorong pemerintah untuk mengaktifkan kembali gugus tugas TPPO di tingkat kota dan provinsi. (*)
Reporter : Arjuna
Editor : RYAN AGUNG